Rabu, 13 April 2016

Arang dan Abu

Sepasang kaki yang melangkah ragu-ragu
Jarinya mengetuk daun pintu hanya sekali
"Tok..", tapi hanya bunyi angin yang terdengar
Lama ia pandangi
Lama ia renungi
Lantaran hina telah ia sandang sedari pandai mengaum
Toh, lama kelamaan nyalinya bak arang yang menunggu waktu untuk menjadi abu
Hingga sang angin yang tak tega
Mulai merayu-rayu agar jangan terburu-buru berputus asa
Dihembuskannya semangat dan tekad baja agar hina tak lagi hinggap
Hingga sang arang perlahan mengeluarkan percikan api kecilnya
Tak apalah, api kecilpun mampu membakar hutan jika ia mau
Dan disinilah ia kini didepan daun pintu yang sudah lama berlumut
Memikirkan untuk tidak lagi mengetok apalagi menengok
Kedua tangannya ia kepalkan kuat-kuat
Sekali dobrak...ia tak ingin menjadi abu
Yang nantinya diterbangkan angin lalu hilang tak berbekas

Selasa, 05 April 2016

Mei

Dia adalah Mei. Gadis kecil berambut pirang karena sengatan matahari siang. Pertama kali melihatnya, mohon maaf aku sedikit jijik mungkin benar-benar jijik hingga aku membuang cilok yang baru saja kubeli dari abang- abang yang biasa nongkrong didepan kompleks. Kalau diingat-ingat hmm...aku lebih merasa jijik pada diriku sendiri kala mengingat kejadian waktu itu. Mei, gadis yang ramah dengan kemampuan komunikasi yang sangat bagus untuk gadis seusianya dengan latar belakang kehidupan yang memilukan. Istilah zaman sekarang "ice breaking", ya..dia mampu melakukannya dengan baik.
" Selamat siang kakak, ini ciloknya kenapa dibuang? Boleh saya ambil?"
".......itu kotor jangan", aku langsung mundur lima langkah mengantisipasi bau tidak sedap yang mulai menguap diudara.
" Tidak apa-apa kak, kan belum lima menit dan tidak menyentuh tanah". Aku bergumam dalam hati betapa dangkalnya pemikiran bocah kecil ini dengan menaksir 5 menit dan belum menyentuh tanah sebagai patokan.
"Tapi sudah kotor", aku kembali menegaskan.
" Ah...kalau itu mah saya tiap hari kerjanya selalu kotor kakak, karena berani kotor itu baik..perut tidak lapar dan bisa sekolah", Mei tertawa sambil menunjuk karung seukuran orang dewasa yang sudah terisi setengahnya. Topi merah kumal yang ia pakai aku seperti mengenalinya. Ada slogan Tut Wuri Handayani yang sudah samar-samar terlihat. Praduga ku salah, bau menyengat itu berasal dari karung yang ia isi dengan botol-botol plastik dan kardus bekas. Buktinya setelah ia melepaskan karung tersebut dan mendekatiku, aku hanya mencium bau matahari. Bau pekerja keras dan tekad untuk hidup lebih baik.
"Kakak terima kasih ya.."
Aku tertunduk malu tetapi di dalam hati aku berteriak keras.
"Terima kasih banyak Mei"