Senin, 28 Desember 2015





Vivian

Vivian. Perempuan muda dua puluh tahunan yang sukses di usia muda.
Vivian. Perempuan paling cantik yang pernah aku temui, pintar pula.
Vivian. Perempuan dengan kekayaan dan kemewahan yang memanjakan.
Vivian. Perempuan dengan list pelamar pria terbanyak tanpa cela.
Vivian oh Vivian...andai raga itu milikku.

Aku melirik pergelangan tangan. Memar biru yang menggantikan lingkaran tali jam ku terlihat begitu menyakitkan. Gara-gara pindahan kost kemarin aku memaksakan mengangkut semua barang-barang dalam satu tas besar dan menjinjingnya seorang diri. Hasilnya seperti prediksi teman ku kalau tidak patah ya palingan keseleo, itu juga udah untung "cuma keseleo" katanya. Maka disinilah aku sekarang di sebuah rumah sakit swasta ternama di kawasan Jakarta Pusat menunggu antrian. Awalnya aku hanya berencana ke klinik umum saja minta diberi resep dan salep biasa. Namun mengingat gradasi warna yg sudah mulai berubah gelap maka kuputuskan untuk berkonsultasi langsung ke bagian ahli saraf. Sedari tadi beberapa pasangan suami istri mondar-mandir dengan raut bahagia dan cemas yang tergambar sekaligus. Dokter kandungan yang ruangannya berada tak jauh dari prodi saraf terlihat begitu menyenangkan untuk dikunjungi. Seolah si dokter memberikan souvenir senyuman paling bahagia bagi para pengunjungnya. Ah..betapa bahagianya mereka yang sudah menikah, hmm...bagaimana denganku nanti?.

"Ka, lo rencana nikah di umur berapa? si perempuan cantik bertanya padaku. Aku meliriknya dari atas sampai bawah, sampai ujung kuku kakinya yang begitu mengkilap hasil perawatan salon yang rutin.
"Tergantung lo", aku menjawab singkat dan kembali melanjutkan membaca. Si cantik itu merengut. Alisnya yang seperti hasil sulaman itu bertaut. Oh..Tuhan bahkan ketika dahinya merengut pun tetap saja cantik. Menyebalkan!
"Gue? Lo mau nungguin gue maksudnya?", seolah tak percaya ia menarik paksa majalah wanita yang sedari tadi aku pandangi.
"Iya, setelah lo berhitung kancing pria mana yang mau lo pilih dan sisanya jatah gue!", aku membalas sinis sambil menarik kembali majalah yan telah dirampasnya. Andai saja aku juga bisa menarik Fathan semudah ini. Tapi tak mungkin, itu hanya mimpi Kartika bagaimana mungkin kamu bisa mengalihkan dunia Fathan dari pesona Vivian. Wajahmu? jangan berkhayal yang tidak-tidak lagu tetaplah hanya barisan lirik yang berusaha meraih perhatian pendengarnya.
Sejak saat itu si cantik Vivian semakin gencar menanyaiku kapan menikah, seperti apa pria yang aku dambakan dan seabrek pertanyaan seputar angan-anganku dengan Fathan yang selama ini aku simpan rapat-rapat. Hanya saja tiga hari belakangan ini aku tidak lagi mendengar kicauan nya yang bak burung beo itu. Bahkan sekedar berkicau di medsos pun tidak, sampai-sampai para fans nya itu menanyakan perihal menghilangnya sang idola dari peredaran dunia maya. Biarlah ia diam sejenak, biarkan aku tenang sebentar saja dan mencoba menghirup oksigen dengan sempurna tanpa ada satu partikelpun yang luput. Belasan tahun hidup bersama tuan putri membuatku merasa seperti upik abu. Cukup menjadi bayang-bayang dan tak pernah mampu memainkan peranku sendiri.
“Ibu Riana Kartika!”, satu panggilan dengan nada lantang membuyarkan imajiku. Dengan langkah gontai takut dan cemas kalau seandainya  akan mendapatkan suntikan tiba-tiba bergelayut  membuyarkan lamunanku.
“Selamat sore ibu Kartika..”, sebuah sapaan ramah terdenganr nyaring. Ah..suaranya begitu mirip sosok yang begitu melekat dalam lamunan sebelum tidurku. Entah aku yang seorang pengkhayal akut atau memar pergelangan tangan ku sudah menjalar keseluruh tubuh rasanya seperti susah menarik nafas. Tiba-tiba paru-paruku terasa sempit untuk menampung oksigen bahkan sekedar menghirup nafas aku hampir lupa bagaimana caranya.
“Hey…take a breathe please!, ajaibnya lentikan jemarinya seperti tombol play dan pause yang seketika itu juga mampu menggerakkan kembali kebekuan yang ada dan ffiuuuhhhh… aku rasa ini bukanlah khayalan seperti biasanya.
“Fa..tha..nnn, hey !’, sebisa mungkin aku memaksa otakku mencerna sapaan apa yang pantas untuk situasi yang mungkin hanya terjadi di alam mimpi.
“Jangan bertanya apa kabar dan how could as usual, OK? Let me take care my patient first..”, aku hanya mengangguk seperti  hewan peliharaan yang mematuhi instruksi majikannya.
Belasan menit berlalu hanya hening yang memenuhi ruang 4x4 meter ini.
“Hmm…ajaib setelah tiga tahun berlalu kamu sudah tidak takut jarum suntik lagi, terakhir ingat tidak yang waktu kamu demam panas sehingga aku harus memberikan suntikan agar panas mu cepat turun, ingat Vivian bahkan mempersiapkan tali ikatan agar kamu mau disuntik hahaha”, masih diam, aku mendengar dalam diam. Mengingat-ingat kejadian tiga tahun yang lalu. Ketika malam dini harinya suhu badanku memuncak dan si cantik Vivian dengan paniknya mengabari seorang dokter muda yang baru saja diwisuda untuk mengusir kepanikannya.
“Haha iyaa..”, aku meraba pergelangan tanganku yang mulai terasa sedikit nyeri setelah suntikan tadi, gila..aku sampai mati rasa begini.
“Kamu apa kabar? Tiga tahun ini kemana maksudku kenapa tidak ada kabar?”, aku melanggar aturan itu akhirnya. Mulutku sudah tidak tahan untuk tidak bertanya.
“ Baik, tiga tahun ini fokus mengejar mimpi sama seperti kamu yang sekarang sudah sukses menjadi editor majalah wanita ternama”, dia masih sepintar dulu ternyata.
“Tidak sesukses Vivian tapi, si cantik mu itu minggu depan akan jadi menejer”, tidak mau kalah aku mencoba mengalihkan topik. Penasaran bagaimana ekspresinya ketika mendengar nama itu.
“Tapi editor sepertimu tidak kalah saing dengan seorang marketing manager kok”
“Hahaha kamu ngepoin kita? Jadi selama tiga tahun ini nama ku dan Vivian pasti memenuhi mesin pencari di berbagai akun mu”, kali ini aku tertawa lepas membayangkan bagaimana dia mencari tau apa yang terjadi antara aku dan Vivian sekarang.
“Ibu Kartika, aku seorang dokter saraf yang baru lulus dan tidak memiliki waktu luang untuk hal gak penting seperti itu!”, dia balas melirikku ketus.
“Ok..well…
“Vivian…vivian yang cerita”, seolah tau akan rasa penasaranku, Fathan, pria yang dulu sempat mengisi imajiku merespon beberapa hipotesa yang sempat aku rancang.
“Tiap sore aku sering ketemu dia disini hmm..semenjak dia jadi pasien tetap prodi sebelah”, prodi sebelah? Lha bukannya itu bagian kandungan. Baiklah, ini waktu pemeriksaan yang cukup lama dan sepertinya aku harus segera keluar sebelum penyakit kepo- ku kembali kambuh.
Hanya selang beberapa menit langkah kaki terdengar mendekat.
“ Eh ada Tika juga disini”, suara itu..suara yang selalu menghambat setiap langkahku sama halnya seperti sore ini.
“Hai Vi”, aku berbalik penuh basa-basi. Fathan menatapku dan Vivian bergantian seolah mencium kerenggangan hubunganku dengan si Cantik ini.
“Hai Vi bagaimana hasil lab nya?”, Fathan berjalan pelan menjauh dariku dan mendekati Vivian perlahan dalam arti sebenarnya, hanya saja itu seperti konotasi dalam historikal asmaraku.
“Positif..”, air mukanya tiba-tiba berubah suram.
Toxoplasmosis itu bisa diobati kok..”, dengan pelan Fathan menepuk pundak Vivian seolah ingin menghapus kesuraman yang bergelayut di wajah cantiknya.
“Lo sakit Vi?, aku tau ini adalah hal bodoh ketika orang-orang selama ini tau hanya aku teman terdekat Vivian.
“Iya Ka..sakit hati…”, dengan senyum yang dibuat terpaksa ia mendekatiku dan seperti biasa bersandar manja di bahuku. Arrghh..aku benci sikapnya yang sok manja dan kekanak-kanakan ini.
“Gue serius Vi..elo masih aja..”
“Gue batal tunangan sama Yudha Ka..”, belum selesai keterkejutanku bertemu tiba-tiba dengan laki-laki yang selama ini aku impikan. Kini, Vivian seperti bersekongkol dengan Fathan untuk memberikan surprise demi surprise kepadaku.
“How could?”, aku menatapnya tajam sambil memegang kedua bahunya. Tidak mungkin seorang Yudha sanggup meninggalkan Vivian yang telah ia perjuangkan bertahun-tahun meskipun ia harus menahan sakit hati betapa banyak laki-laki diluar sana yang mencoba merebut Vivian dari tangannya.
“Everything could happen Ka..”
“Tapi ini impossible Vi, lo cantik lo pinter lo..”
“Trus kalo gue cantik kenapa?cantik bukan jaminan Ka, pinter? Kalo gue pinter dari dulu gue harusnya tau kondisi badan gue ga sebaik yang gue kira”, bola matanya mulai menerawang dan perlahan memerah. Aku melirik Fathan tapi ia hanya diam mematung dan tak berniat membantu memecahkan teka-teki ini.
“Gue positif mengidap toxoplasmosis “, aku memutar kincir-kincir otakku. Nama penyakit itu terdengar  sudah tidak asing lagi. Ya tentu saja aku seorang maniak kucing dan sering mendengar kata-kata itu dari mulut ibu. Bagaimana ibu memarahiku ketika hampir tiap minggu aku pulang kerumah menambah koleksi kucing yang sering kutemukan di jalanan antah berantah.
“Lo yang maniak kucing tapi kenapa gue yang kena sialnya ya..”, mataku langsung membelalak dan menatap Vivian minta penjelasan. Aku tidak berpendapat kalau ini situasi yang bagus untuk diajak bercanda.
“Bercanda…guenya yang ceroboh karena gue gak pinter ngurus diri sendiri, lo tau kan gue ketergantungan banget sama orang lain..”, ya..aku sangat setuju untuk hal yang satu ini. Seberapa dekat pun orang melihat aku dengan Vivian berteman tapi tetap saja aku tidak mau hidup serumah dengannya meskipun itu gratis. Aku lebih memilih untuk menyewa kamar kost daripada harus tidur di kapal pecah setiap harinya.
“Nah itu lo tau Vi sekarang lo harus mandiri dan disiplin sama diri lo sendiri. Gue punya kenalan dokter kandungan waktu di KL dulu. Dia sering menangani kasus toxoplasmosis”, Fathan akhirnya bersuara sambil melirikku.
“Atau gimana kalo kalian berdua serumah aja. Percuma kan Vi lo beli rumah tapi isinya cuma buat lo doank”, kali ini mataku membelalaki Fathan seolah bicara you know me so well-lah.
“Lo juga Ka ngapain buang-buang duit nge-kost sementara Vivian punya banyak kamar”, Vivian memasang muka datar . Mungkin ia tau kenapa aku hanya sanggup bertahan satu bulan tidak lebih sehari pun hidup serumah dengannya.
“Kalian kenapa sih? Atau maksudnya maunya serumah ama gue aja gitu”, kali ini bukan pertanyaan dan entahlah apa itu pernyataan. Hanya saja kerlingan mata Fathan yang tertuju padaku mampu membuat semburat merah di pipi yang sulit disembunyikan.

Aku memegang erat tangan Vivian. Membiarkan kepalanya masih bersandar manja dibahuku. Mengelus rambutnya yang sehalus sutra. Tak ada sedikitpun kekesalan dan cemburu yang terbersit di setiap belaiannya.

Vivian. Perempuan muda dua puluh tahunan yang sukses di usia muda.
Vivian. Perempuan paling cantik yang pernah aku temui, pintar pula.
Vivian. Perempuan dengan kekayaan dan kemewahan yang memanjakan.
Vivian. Perempuan dengan list pelamar pria terbanyak tanpa cela.
Vivian oh Vivian...aku tak lagi berandai raga itu milikku.