Vivian
Vivian.
Perempuan muda dua puluh tahunan yang sukses di usia muda.
Vivian.
Perempuan paling cantik yang pernah aku temui, pintar pula.
Vivian.
Perempuan dengan kekayaan dan kemewahan yang memanjakan.
Vivian.
Perempuan dengan list pelamar pria terbanyak tanpa cela.
Vivian oh
Vivian...andai raga itu milikku.
Aku
melirik pergelangan tangan. Memar biru yang menggantikan lingkaran tali jam ku
terlihat begitu menyakitkan. Gara-gara pindahan kost kemarin aku memaksakan
mengangkut semua barang-barang dalam satu tas besar dan menjinjingnya seorang
diri. Hasilnya seperti prediksi teman ku kalau tidak patah ya palingan keseleo,
itu juga udah untung "cuma keseleo" katanya. Maka disinilah aku
sekarang di sebuah rumah sakit swasta ternama di kawasan Jakarta Pusat menunggu
antrian. Awalnya aku hanya berencana ke klinik umum saja minta diberi resep dan
salep biasa. Namun mengingat gradasi warna yg sudah mulai berubah gelap maka
kuputuskan untuk berkonsultasi langsung ke bagian ahli saraf. Sedari tadi beberapa
pasangan suami istri mondar-mandir dengan raut bahagia dan cemas yang tergambar
sekaligus. Dokter kandungan yang ruangannya berada tak jauh dari prodi saraf
terlihat begitu menyenangkan untuk dikunjungi. Seolah si dokter memberikan
souvenir senyuman paling bahagia bagi para pengunjungnya. Ah..betapa bahagianya
mereka yang sudah menikah, hmm...bagaimana denganku nanti?.
"Ka,
lo rencana nikah di umur berapa? si perempuan cantik bertanya padaku. Aku
meliriknya dari atas sampai bawah, sampai ujung kuku kakinya yang begitu mengkilap
hasil perawatan salon yang rutin.
"Tergantung
lo", aku menjawab singkat dan kembali melanjutkan membaca. Si cantik itu
merengut. Alisnya yang seperti hasil sulaman itu bertaut. Oh..Tuhan bahkan
ketika dahinya merengut pun tetap saja cantik. Menyebalkan!
"Gue?
Lo mau nungguin gue maksudnya?", seolah tak percaya ia menarik paksa
majalah wanita yang sedari tadi aku pandangi.
"Iya,
setelah lo berhitung kancing pria mana yang mau lo pilih dan sisanya jatah gue!",
aku membalas sinis sambil menarik kembali majalah yan telah dirampasnya. Andai
saja aku juga bisa menarik Fathan semudah ini. Tapi tak mungkin, itu hanya
mimpi Kartika bagaimana mungkin kamu bisa mengalihkan dunia Fathan dari pesona
Vivian. Wajahmu? jangan berkhayal yang tidak-tidak lagu tetaplah hanya barisan
lirik yang berusaha meraih perhatian pendengarnya.
Sejak
saat itu si cantik Vivian semakin gencar menanyaiku kapan menikah, seperti apa
pria yang aku dambakan dan seabrek pertanyaan seputar angan-anganku dengan
Fathan yang selama ini aku simpan rapat-rapat. Hanya saja tiga hari belakangan
ini aku tidak lagi mendengar kicauan nya yang bak burung beo itu. Bahkan
sekedar berkicau di medsos pun tidak, sampai-sampai para fans nya itu
menanyakan perihal menghilangnya sang idola dari peredaran dunia maya. Biarlah
ia diam sejenak, biarkan aku tenang sebentar saja dan mencoba menghirup oksigen
dengan sempurna tanpa ada satu partikelpun yang luput. Belasan tahun hidup
bersama tuan putri membuatku merasa seperti upik abu. Cukup menjadi bayang-bayang
dan tak pernah mampu memainkan peranku sendiri.
“Ibu
Riana Kartika!”, satu panggilan dengan nada lantang membuyarkan imajiku. Dengan
langkah gontai takut dan cemas kalau seandainya
akan mendapatkan suntikan tiba-tiba bergelayut membuyarkan lamunanku.
“Selamat
sore ibu Kartika..”, sebuah sapaan ramah terdenganr nyaring. Ah..suaranya
begitu mirip sosok yang begitu melekat dalam lamunan sebelum tidurku. Entah aku
yang seorang pengkhayal akut atau memar pergelangan tangan ku sudah menjalar keseluruh
tubuh rasanya seperti susah menarik nafas. Tiba-tiba paru-paruku terasa sempit
untuk menampung oksigen bahkan sekedar menghirup nafas aku hampir lupa
bagaimana caranya.
“Hey…take
a breathe please!, ajaibnya lentikan jemarinya seperti tombol play dan pause
yang seketika itu juga mampu menggerakkan kembali kebekuan yang ada dan ffiuuuhhhh…
aku rasa ini bukanlah khayalan seperti biasanya.
“Fa..tha..nnn,
hey !’, sebisa mungkin aku memaksa otakku mencerna sapaan apa yang pantas untuk
situasi yang mungkin hanya terjadi di alam mimpi.
“Jangan
bertanya apa kabar dan how could as usual, OK? Let me take care my patient
first..”, aku hanya mengangguk seperti
hewan peliharaan yang mematuhi instruksi majikannya.
Belasan
menit berlalu hanya hening yang memenuhi ruang 4x4 meter ini.
“Hmm…ajaib
setelah tiga tahun berlalu kamu sudah tidak takut jarum suntik lagi, terakhir
ingat tidak yang waktu kamu demam panas sehingga aku harus memberikan suntikan
agar panas mu cepat turun, ingat Vivian bahkan mempersiapkan tali ikatan agar
kamu mau disuntik hahaha”, masih diam, aku mendengar dalam diam.
Mengingat-ingat kejadian tiga tahun yang lalu. Ketika malam dini harinya suhu
badanku memuncak dan si cantik Vivian dengan paniknya mengabari seorang dokter
muda yang baru saja diwisuda untuk mengusir kepanikannya.
“Haha
iyaa..”, aku meraba pergelangan tanganku yang mulai terasa sedikit nyeri
setelah suntikan tadi, gila..aku sampai mati rasa begini.
“Kamu apa
kabar? Tiga tahun ini kemana maksudku kenapa tidak ada kabar?”, aku melanggar
aturan itu akhirnya. Mulutku sudah tidak tahan untuk tidak bertanya.
“ Baik,
tiga tahun ini fokus mengejar mimpi sama seperti kamu yang sekarang sudah
sukses menjadi editor majalah wanita ternama”, dia masih sepintar dulu
ternyata.
“Tidak
sesukses Vivian tapi, si cantik mu itu minggu depan akan jadi menejer”, tidak
mau kalah aku mencoba mengalihkan topik. Penasaran bagaimana ekspresinya ketika
mendengar nama itu.
“Tapi
editor sepertimu tidak kalah saing dengan seorang marketing manager kok”
“Hahaha kamu
ngepoin kita? Jadi selama tiga tahun ini nama ku dan Vivian pasti memenuhi
mesin pencari di berbagai akun mu”, kali ini aku tertawa lepas membayangkan
bagaimana dia mencari tau apa yang terjadi antara aku dan Vivian sekarang.
“Ibu
Kartika, aku seorang dokter saraf yang baru lulus dan tidak memiliki waktu
luang untuk hal gak penting seperti itu!”, dia balas melirikku ketus.
“Ok..well…
“Vivian…vivian
yang cerita”, seolah tau akan rasa penasaranku, Fathan, pria yang dulu sempat
mengisi imajiku merespon beberapa hipotesa yang sempat aku rancang.
“Tiap
sore aku sering ketemu dia disini hmm..semenjak dia jadi pasien tetap prodi
sebelah”, prodi sebelah? Lha bukannya itu bagian kandungan. Baiklah, ini waktu
pemeriksaan yang cukup lama dan sepertinya aku harus segera keluar sebelum
penyakit kepo- ku kembali kambuh.
Hanya
selang beberapa menit langkah kaki terdengar mendekat.
“ Eh ada
Tika juga disini”, suara itu..suara yang selalu menghambat setiap langkahku
sama halnya seperti sore ini.
“Hai Vi”,
aku berbalik penuh basa-basi. Fathan menatapku dan Vivian bergantian seolah
mencium kerenggangan hubunganku dengan si Cantik ini.
“Hai Vi
bagaimana hasil lab nya?”, Fathan berjalan pelan menjauh dariku dan mendekati
Vivian perlahan dalam arti sebenarnya, hanya saja itu seperti konotasi dalam
historikal asmaraku.
“Positif..”,
air mukanya tiba-tiba berubah suram.
“Toxoplasmosis itu bisa diobati kok..”,
dengan pelan Fathan menepuk pundak Vivian seolah ingin menghapus kesuraman yang
bergelayut di wajah cantiknya.
“Lo sakit
Vi?, aku tau ini adalah hal bodoh ketika orang-orang selama ini tau hanya aku
teman terdekat Vivian.
“Iya
Ka..sakit hati…”, dengan senyum yang dibuat terpaksa ia mendekatiku dan seperti
biasa bersandar manja di bahuku. Arrghh..aku benci sikapnya yang sok manja dan
kekanak-kanakan ini.
“Gue
serius Vi..elo masih aja..”
“Gue
batal tunangan sama Yudha Ka..”, belum selesai keterkejutanku bertemu tiba-tiba
dengan laki-laki yang selama ini aku impikan. Kini, Vivian seperti bersekongkol
dengan Fathan untuk memberikan surprise demi surprise kepadaku.
“How
could?”, aku menatapnya tajam sambil memegang kedua bahunya. Tidak mungkin
seorang Yudha sanggup meninggalkan Vivian yang telah ia perjuangkan
bertahun-tahun meskipun ia harus menahan sakit hati betapa banyak laki-laki diluar
sana yang mencoba merebut Vivian dari tangannya.
“Everything
could happen Ka..”
“Tapi ini
impossible Vi, lo cantik lo pinter lo..”
“Trus
kalo gue cantik kenapa?cantik bukan jaminan Ka, pinter? Kalo gue pinter dari
dulu gue harusnya tau kondisi badan gue ga sebaik yang gue kira”, bola matanya
mulai menerawang dan perlahan memerah. Aku melirik Fathan tapi ia hanya diam
mematung dan tak berniat membantu memecahkan teka-teki ini.
“Gue
positif mengidap toxoplasmosis “, aku
memutar kincir-kincir otakku. Nama penyakit itu terdengar sudah tidak asing lagi. Ya tentu saja aku
seorang maniak kucing dan sering mendengar kata-kata itu dari mulut ibu.
Bagaimana ibu memarahiku ketika hampir tiap minggu aku pulang kerumah menambah
koleksi kucing yang sering kutemukan di jalanan antah berantah.
“Lo yang
maniak kucing tapi kenapa gue yang kena sialnya ya..”, mataku langsung
membelalak dan menatap Vivian minta penjelasan. Aku tidak berpendapat kalau ini
situasi yang bagus untuk diajak bercanda.
“Bercanda…guenya
yang ceroboh karena gue gak pinter ngurus diri sendiri, lo tau kan gue
ketergantungan banget sama orang lain..”, ya..aku sangat setuju untuk hal yang
satu ini. Seberapa dekat pun orang melihat aku dengan Vivian berteman tapi
tetap saja aku tidak mau hidup serumah dengannya meskipun itu gratis. Aku lebih
memilih untuk menyewa kamar kost daripada harus tidur di kapal pecah setiap
harinya.
“Nah itu
lo tau Vi sekarang lo harus mandiri dan disiplin sama diri lo sendiri. Gue
punya kenalan dokter kandungan waktu di KL dulu. Dia sering menangani kasus toxoplasmosis”, Fathan akhirnya bersuara
sambil melirikku.
“Atau
gimana kalo kalian berdua serumah aja. Percuma kan Vi lo beli rumah tapi isinya
cuma buat lo doank”, kali ini mataku membelalaki Fathan seolah bicara you know
me so well-lah.
“Lo juga
Ka ngapain buang-buang duit nge-kost sementara Vivian punya banyak kamar”,
Vivian memasang muka datar . Mungkin ia tau kenapa aku hanya sanggup bertahan
satu bulan tidak lebih sehari pun hidup serumah dengannya.
“Kalian
kenapa sih? Atau maksudnya maunya serumah ama gue aja gitu”, kali ini bukan
pertanyaan dan entahlah apa itu pernyataan. Hanya saja kerlingan mata Fathan
yang tertuju padaku mampu membuat semburat merah di pipi yang sulit disembunyikan.
Aku
memegang erat tangan Vivian. Membiarkan kepalanya masih bersandar manja
dibahuku. Mengelus rambutnya yang sehalus sutra. Tak ada sedikitpun kekesalan
dan cemburu yang terbersit di setiap belaiannya.
Vivian. Perempuan muda dua puluh tahunan yang sukses di usia muda.
Vivian.
Perempuan paling cantik yang pernah aku temui, pintar pula.
Vivian.
Perempuan dengan kekayaan dan kemewahan yang memanjakan.
Vivian.
Perempuan dengan list pelamar pria terbanyak tanpa cela.
Vivian oh
Vivian...aku tak lagi berandai raga itu milikku.