Kisah Sepenggalan untuk Kasih Sepanjang Jalan...
Sejak seminggu yang lalu aku belum bisa tidur
nyenyak. Kertas berwarna merah maroon yang tergeletak di sudut meja
rias menjadi pusat perhatianku akhir-akhir ini. Kalau bukan karena Mama..kalau
bukan Mama..alasan yang dari dulu selalu aku lontarkan. Arinka,kakak semata
wayangku mengatakan aku selalu "mengkambinghitamkan" Mama untuk
setiap kepentingan yang selalu tidak dapat approval.Obsesi yang cenderung
bercampur emosi dan hanya sekedar hawa nafsu,begitu pikirnya.
"Tok..tok..tok..",ah..pasti dia lagi,
baru saja terpikirkan.
"Ia kak masuk...",tak butuh berbasa-basi
untuk menanyakan siapa karena aku sudah hapal setiap nada ketukan di rumah ini
bahkan langkah kaki dalam radius sepuluh meter.
"Masih ragu ya..tinggal tiga hari lagi
lho..", wanita berusia awal tiga puluh tahun itu mendekati meja rias dan
langsung memungut kertas merah maroon yang sedari tadi kupandangi dengan begitu
seksama.
"Haha..iya nih", aku cuma tertawa ringkuh
tidak bisa lari dari alasan seperti biasanya.
"Hmm kak,maafkan aku...", sedetik dua
detik tidak ada respon.Sial,kenapa juga tadi melontarkan kata-kata ala drama
sperti itu, sesuatu yang bukan aku. Maksudku aku bukan tipe orang yang meminta
maaf dengan helaan nafas sebelumnya lalu dilanjutkan dengan tatapan mata
berkaca-kaca.
"Maaf kenapa?",dasar Arinka..dia masih
saja bisa berpura-pura seperti ini bahkan di saat aku sudah serius hingga momen
sekarang ini terlihat seperti sebuah skenario telenovela.
"Mendahulukan kakak, maksudku aku minta maaf atas
dua puluh dua tahun yang tidak mengenakkan,mengambil jatah kasih sayang Mama
dari kakak, harus rela berbagi mainan bahkan makanan walaupun itu hak kakak
sepenuhnya bahkan sekarang..lusa depan itu harusnya harinya kakak,bukan
aku",serentetan kata-kata yang telah kuatur sejak semalam mengalir begitu
saja keluar dari catatan yang telah kutulis dalam memo tablet.
"Merasa bersalah ya? Kenapa tidak dari dulu
meminta maaf padaku?", deg..!!!Oh God,dia serius atau bercanda, kali ini
aku sudah tidak bisa membedakan situasi lagi mana hitam dan mana putih. Semua
terlihat begitu abu-abu di mataku. Kertas yang dari tadi ia genggam sekarang
mulai di elus perlahan, jemarinya yang terawat menelusuri setiap ukiran benang
berwarna gold yang mengukir serangkaian nama dan sebait kata-kata mutiara yang
sudah lazim kubaca.
"Nadhira Asla, S.I.Kom bersediakah kamu
menerima Alfian Latif, S.E,MBA menjadi teman hidupmu?teman sehidup
sematimu?" Tidakkkk,maksudku aku tentu akan menjawab tidak kali ini kalau
saja itu memungkinkan.
"Kak..ayolah...", hanya kata itu yang
akhirnya keluar.
Arinka mengerlingkan matanya padaku. Dia tau aku
sudah mulai muak dengan intro yang sedari tadi dia mainkan. Dia merupakan salah
satu dari beberapa orang yang sangat tau dengan sifatku yang tidak sabaran dan
suka terburu-buru.
"Nad kamu tau tidak? Sejak kamu lahir dan
dibawa pulang ke rumah ini kakak sudah memaafkan kamu. Rasanya masih seperti
hari kemarin. Papa datang kerumah pag-pagi sekali sebelum kamu,mama dan ayah
datang ke rumah ini. Papa membangunkan kakak yang semenjak semalam
terus-terusan menangis seperti tidak menerima nasib kalau boneka kesayangannya
dirampas orang lain. Papa bilang kakak akan punya adik baru dan ayah baru dan Papa
tidak bisa terus-terusan menemani kakak lagi karena...", aku bisa membaca
kesedihan dan rasa kecewa yang begitu mendalam dari wajahnya yang masih
terlihat cantik di saat sudah berkepala tiga. Ya..bulan Januari tahun 1991
telah memberikan hadiah yang begitu mengecewakan baginya. Seorang adik
perempuan yang akan lahir dan ayah baru yang terdengar lebih sopan dari pada
ayah tiri. Mama, wanita yang telah melahirkanku memilih meninggalkan lelaki
yang telah menjadi ayah dari anak pertamanya lantaran kata Mama ia tidak mau di
madu. Tidak lama setelah itu, dua tahun kemudian Mama dijodohkan lagi dengan
anak teman kakek yang tak lain adalah ayahku sendiri. Mama pernah bercerita
selama dua tahun ia menjadi single parent Papa nya kakak masih sering datang ke
rumah. Ia tak ingin kakak terlihat sperti anak yang tidak ada bapaknya, begitu
lah kira-kira cerita yang ku peroleh. Ketika usiaku menginjak tujuh belas tahun
aku pernah sekali bertemu dengan Papa nya kakak. Mama mengundangnya di hari
acara ulang tahun tujuh belas manis-ku. Betapa tidak manis, kedua orang tua ku
mengabulkan keinginanku untuk memilih jurusan yang paling aku idam-idamkan
meskipun mereka kurang menyetujui di awal hanya karena tidak ingin anaknya
terlibat hal-hal yang sering mereka lihat di TV. Jurnalis. Satu kata yang mampu
membuat detak jantungku berdegup tak kencang tatkala melihat Najwa Shihab,
salah satu sosok yang aku kagumi nongol di depan TV meskipun ia mengabarkan
kenaikan BBM sekalipun.
"Kakak senang ya sekarang sudah punya adik dan
ayah baru..", aku menguping pembicaraan ketika kakak ku dan Papanya duduk
berdua di halaman belakang. Sepertinya mereka menghabiskan waktu untuk bernostalgia
di rumah ini seperti belasan tahun yang lalu.
"Ia kakak senang punya adik baru, tapi lebih
senang dengan ayah yang lama...", kalimat yang terkahir ku dengar karena
aku tidak ingin lagi menguping lebih lanjut. Kakak memang sopan dan menghormati
ayahku. Sejauh ini kami hidup layaknya iklan program KB dengan dua anak sudah
cukup,kecil namun bahagia. Namun, dibalik semua itu aku tau kakak masih belum
bisa menerima kenyataan kalau formasi keluarganya harus berubah di saat usianya
masih delapan tahun. Sekali waktu, aku pernah menanyakan kenapa Mama masih
memajang foto masa lalu keluarga kecilnya tepat di samping foto keluarga
kami. Jawaban Mama waktu itu sempat mengejutkanku,"Permintaan kakakmu,biarkan
saja". Sejak saat itu aku tidak pernah lagi menyinggung soal sejarah
keluarga kami. Hingga akhirnya sekarang kakak lah yang memulai ceritanya.
"Kamu persis seperti papa..papanya kakak, penuh
ambisi,semangat yang tiada matinya bahkan terkadang cenderung terbawa
emosi..".
".....", tidak ada tanggapan dariku.
Tidak ada perasaan tersinggung karena ucapan kakak yang menomorsatukan gen
ayahnya ke dalam karakterku. Kakak benar, aku mamang begitu adanya.
"Dan kakak tau kamu sangat emosi bukan ketika
harus menerima kenyataan di jodohkan dengan Fian di saat obsesimu hampir
mendekati puncaknya sampai-sampai kamu tidak mencoba mengevaluasi undanganmu
sendiri,hey..mana tau ada kesalahan penulisan didalamnya", bungkusan
plastik berpita emas di buka perlahan. Kakak mengamati dengan seksama, aku tau
sebenarnya pikirannya sama sekali tidak mencerna kata-kata didalamnya. Mungkin
sekarang ia sudah jauh menerawang ke acara tiga hari kedepan. Bahkan ia lebih
perhatian dari pada diriku sendiri yang justru jadi pemeran utamanya.
"Eropa memang cita-citaku dari dulu kak..aku
berusaha keras mewujudkannya bahkan ketika masih duduk di sekolah dasar ketika
pertama kali mengenal tujuh keajaiban dunia dan belajar apa itu peta dan
seperti apa wujudnya Eropa", aku menghela nafas panjang. Rasanya
akhir-akhir ini aku seperti pengidap asma akut yang susah sekali menghela
nafas, sehingga apa-apa jadinya serasa begitu berat bahkan di momen yang paling
ditunggu semua gadis di saat ia harus mengakhiri masa-masa berseminya.Pernikahan.
“Sudah dipersiapkan semuanya?”, pertanyaan khas
yang seperti biasa kakak lontarkan saat aku akan meliput acara ke luar kota.
Bulan lalu, aku mengajukan diri sebagai reporter VOA untuk Belanda dan hasilnya
aku diterima,kedengarannya begitu easy going bukan hanya dalam waktu dua hari aku sudah mendapatkan apa yang
sebagian orang idam-idamkan. Meniti karir di negri kincir angin di usia muda melalui
media berkelas internasional lagi. Tapi itu semua tidak semudah yang orang
bayangkan. Tidak segampang ucapan gadis berambut pirang, maksudku rambut yang
di cat kebarat-baratan yang aku jumpai di lift sehabis menerima pengumuman
bahwa proposalku diterima.
“Hm…mungkin dia ada affair sama bos yang barusan
mewawancarai kita,terang aja..cantik sih kalo boleh jujur”, oh ya…tanpa
berbisik pun aku masih bisa mendengar dengan jelas. Hellooo…ini ruangan yang
hanya selangkah ke kiri ke kanan ke depan dan kebelakang bagaimana dia bisa
menggosip hal-hal yang tak jelas kebenarannya dibelakangku yang hanya berjarak
satu langkah kaki saja. Ngomong-ngomong terima kasih untuk pujian jujurnya. Aku
mengucapkannya secara tulus di dalam hati.
“Bisa jadi sih…sekarang pekerjaan bukan cuma soal
skill doang..”, lelaki yang sepantaran dengan wanita si rambut pirang
menyambar. Tanganku mengepal satu tinju kuat-kuat, yang berkamuflase
seolah-olah aku menggenggam dokumen erat-erat takut kejatuhan. Ingin rasanya
menampar langsung mulut-mulut tak bertanggung jawab, itu, apalagi lelaki yang
disebelahnya yang tiba-tiba terlihat seperti ibu-ibu rumpi dikompleks rumahku.
“Mbak, untuk menjadi jurnalis sejati kita harus
bisa memaparkan informasi yang sudah teruji keakuratanya bukan? Tidak hanya
mungkin atau bisa jadi,bukan begitu mas?”, satu kalimat tanya sekaligus
pernyataan dariku sebelum aku keluar dari lift. Ekspresi yang kudapatkan dari
keduanya cukup memuaskan ku, sepasang mata yang mendelik dengan alis berkerut
tak lupa bibir menganga membentuk huruf O sempurna tanpa sudut.Perfect! Mereka
harus diberi teguran yang edukatif, pikirku. Orang-orang seperti mereka tidak
tau saja bagaimana kegilaanku berusaha membawa media lokal bersama rekan-rekan
seperjuangan lainnya sampai-sampai kami harus menjadi tawanan para tersangka
yang sedang diliput karena tiba-tiba mereka memberontak dan melanggar
kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya.
Kembali ke pertanyaan kakak barusan, aku hanya
menoleh ke arah tumpukan barang-barang hasil memborbardir isi lemari semalaman.
Semuanya ditumpuk di sudut kamar tanpa ada satupun yang tersusun rapi dan siap
dimasukkan ke dalam koper.
“Kamu terlalu mengejar duniamu, nanti nyesel
sendiri lho bisa-bisa seperti kakak nantinya..”, aku tak berani menatap mata
kakak. Ah..begitu banyak cerita sedih darinya..mulai dari kehilangan papa nya
yang ia anggap sebagai lelaki cinta pertamanya hingga Mas Dika yang pergi
begitu saja lantaran mengejar gelar masternya ke negeri seberang. Jarak yang
bahkan bisa ditempuh dalam waktu puluhan menit saja. Alasan kakak waktu itu ia
tidak bisa meninggalkan pekerjaan yang baru memberikan posisi asisten manajer
untuknya. Hubungan yang sudah berjalan lima tahun pun kandas setelah sempat
terikat oleh cincin tunangan.
“Tapi ini beda kak..aku masih terlalu bocah untuk
hal seserius ini, aku belum siap sama sekali..bahkan Fian juga ku rasa, dari
minggu kemaren hingga saat ini sedetikpun dia tidak pernah menelponku bahkan
untuk sekedar menanyakan apakah aku excited hingga hampir susah bernafas
rasanya..”, sambil menendang kecil benda di hadapanku seperti biasa aku selalu
menumpahkan kekesalan dan rasa emosiku pada kakak.
“Lha..kan kamu lagi dipingit Nad, gimana sih kamu
ya mana bisalah…”
“BBM,whatsapp,line,telepon seluler bahkan e-mail
juga gak ikut-ikutan dipingit kali kak..”,aku memotong pembicaraan kakak-ku,
lagi-lagi dia hanya tersenyum seperti menghadapi balita yang sedang merajuk
karena tidak dibelikan mainan baru.
“Percaya pada mama,ayah dan kakak kali ini saja
Nad..Fian memang bukan lelaki sesempurna imam yang kamu impi-impikan tapi dia
cukup sempurna untuk menutupi kekuranganmu dan membimbingmu. Dia lelaki yang
berani mempertanggungjawabkan mu dihadapan Allah sekaligus di hadapan kami.
Kakak tau kamu masih begitu menikmati masa mudamu, tapi ingat..masa muda itu
usianya juga muda..jangan sampai sia-sia begitu saja hanya karena euforianya.
Ayah, terlebih lagi mama. Mereka tidak mempunyai nyali kuat untuk melepasmu
jauh ke negri orang tanpa ada yang menggantikannya sebagai pelindungmu seperti
disini.Nad, perempuan itu…”
“Perempuan itu…seperti kaca..kalau sudah retak ya
retak…mau sebagus apapun perekatnya pasti bekas retakannya terlihat..”, aku
tersenyum jahil menyambung kalimat kakak selanjutnya. Wejangan yang selalu
disampaikan ayah ketika kami menikmati suasana sore dihalaman belakang.
“Tuh sudah hapal di luar kepala, ya sudah nanti
biar kakak bantu mempersiapakan keperluanmu kakak sudah minta perpanjangan cuti
hmm… mana tau bisa ikut acara bulan madu mu sekalian melihat seperti apa tempat
tinggal baru mu di Belanda sana kalau dibolehkan pengantinnya sih..”, kata-kata
kakak barusan membuatku hampir menganga. Fian, calon suamiku sudah bisa
dipastikan tak akan ada waktu untuk bulan madu semanis apapun itu berhubung dia
akan langsung mengurus administrasi pendidikannya. Lelaki yang dua tahun lebih
muda dari kakak. Teman sekelasnya semasa SMA dulu yang saking pintarnya hingga
kelas akselerasi terasa seperti kelas biasa dan beasiswa prestius seperti
Leiden Universiteit terdengar seperti ulangan harian saja yang belum sepenuhnya
mengeksplor seluruh adrenalinnya akan akademis.
“Kakak beneran??Ya ampun kakak tentu saja…honeymoon
ini milik kita berdua..!!!”, aku langsung menjerit kegirangan tanpa
memperdulikan orang-orang di luar yang tengah sibuk menata rumah demi hari-ku
nanti. Ayah yang tadi sempat mondar-mandir melirik kedalam, kalimat yang ia
lontarkan terasa begitu menggelikan di
telingaku.
“Hush..pengantin gak boleh teriak-teriak seperti
itu…”, reaksiku?tersenyum mengulum sambil memasang ekspresi seolah-olah
mengatakan meskipun tiga hari lagi aku akan jadi pengantin toh aku masih putrid
kecilnya ayah juga.
“Hihihi..kamu tuh ya belajar lebih bijak
sekarang..gak harus sok kedawasa-dewasaan ntar cepat tua. Oya ini surat dari
calon mempelai priamu tadi kakak nganterin tiket dan visa kesana trus dititipin
ini sama calon mertuamu,hmm..spertinya e-mail nya Fian juga dipingit tuh. Cuma
ini doank yang gak dipingit”, kakak mengangsurkan amplop surat kepadaku. Tanpa
aba-aba menunggu kakak keluar kamar dulu aku langsung membuka dan membacanya,
surat cinta pertama dan yang terkahir. Fian merupakan lelaki kesekian yang
mendekatiku namun langsung didaulat ayah untuk memutuskan masa PDKT ke jenjang
yang lebih mulia dan jelas. Ini kali pertama aku merasakan pipi ku bersemu
merah melihat surat cinta dari calon imamku yang ternyata romantis juga. Aku
pikir dia akan sibuk dengan proposal dan buku-buku bantalnya itu.
Teruntuk
calon ma’mumku Nadhira Asla..
Sudah belajar
apa saja untuk merawat imam mu nanti? Sudah bisa memasak rendang kesukaanku
kah? Atau sudah bisa menjahit bahkan merajut syal untuk persiapan menghadapi
musim dingin kita di Belanda nanti? Ibuku orang yang selalu cerewet soal itu,
ibuku yang akan menjadi ibumu juga nantinya
sepertinya mulai khawatir anaknya tiba-tiba kehilangan berat satu ons
hanya karena perkara perut hahaha. Orangtua mu pasti juga berpikir demikian,
sekarang aku sedang berkutat dengan buku-buku ku seperti biasanya belajar
bagaimana caranya agar ayahmu tidak lagi mengkhawatirkan putri kesayangannya
tak akan kekurangan apapun nantinya hahaha.
Hmm..tak
perlu terlalu banyak belajar memasak bahkan merajut syal untukku,nanti jarinya
lecet dan tak bisa menulis berita lagi, pelajaran pertama yang harus dipelajari
adalah belajarlah mulai dari sekarang memanggilku Mas jangan panggil Fian
terus-terusan walau baby face begini kita terpaut enam tahun lho…
Calon imam mu
3 hari lagi
Alfian Latif
Aku melipat kembali surat singkat yang telah
membuat pipiku bersemu merah. Untuk kali pertama sepanjang 22 tahun hidupku aku
merasa jatuh cinta itu begitu indah, begitu indah jika dijatuhkan ke mahligai
pernikahan. Kakak yang sedari tadi menyapu setiap sudut wajahku yang berusaha menahan senyum malu-malu seolah
menunggu jawaban dari ku segera. Jawaban yang sudah bisa dibaca sebenarnya,
hanya saja kakak tipe orang yang memastikan sesuatu secara pasti, tak cukup
hanya dengan pengamatan belaka.
“Sepertinya aku salah menilai orang, calon suami
sendiri lagi..”, aku tertunduk setengah malu setengah senang. Malu betapa aku
mengharapkan Alfian bertingkah seperti romeo ternyata ia lebih indah dari
sekedar romeo di mataku.
“Yah namanya kamu juga bocah tamat SMA tahun
kemaren..”, kakak menjawil pipi ku mencoba menggoda. Ayah yang dari tadi sibuk
mondar-mondir di depan kamar sambil menunjuk sana dan sini mengatur susunan
rumah untuk tiga hari kedepan menghampiri kami. Aku tau ada rasa gelisah dan
ragu yang tergurat di wajah tuanya. Tiga hari lagi ayah harus berbagi kasih
sayang dengan lelaki lain.
“Tapi tetap saja ia tak akan mengalahkan cinta
pertamaku kak..”, aku segera berlari kecil menghampiri ayah yang berdiri di
pintu kamar. Aku menggamit tangan ayah dan mendaratkan kecupan kecil di pipi
kanannya.
“Ayah..terima kasih telah menjadi lelaki cinta
pertama Nadhira..”, ayah mengusap kepala ku pelan. Sepasang bola mata yang
selalu menjadi tempat ku mengadu itu terlihat membayang berkaca. Aku manatap
ayah seolah tidak akan bertemu lagi. Ya...tiga hari lagi..tiga hari dari
sekarang..”Tidak akan ada yang berubah
Nadhira…bahkan yang ada semuanya akan bertambah..semua yang kau
punya..bersykurlah”, kalimat itu terdengar semakin bergema ya..tiga hari
lagi akan ada ayah baru lagi..ayah untuk anak-anak ku kelak.