Senin, 16 Februari 2015


Kisah Sepenggalan untuk Kasih Sepanjang Jalan...

Sejak seminggu yang lalu aku belum bisa tidur nyenyak. Kertas berwarna merah maroon yang tergeletak di sudut meja rias menjadi pusat perhatianku akhir-akhir ini. Kalau bukan karena Mama..kalau bukan Mama..alasan yang dari dulu selalu aku lontarkan. Arinka,kakak semata wayangku mengatakan aku selalu "mengkambinghitamkan" Mama untuk setiap kepentingan yang selalu tidak dapat approval.Obsesi yang cenderung bercampur emosi dan hanya sekedar hawa nafsu,begitu pikirnya.
"Tok..tok..tok..",ah..pasti dia lagi, baru saja terpikirkan.
"Ia kak masuk...",tak butuh berbasa-basi untuk menanyakan siapa karena aku sudah hapal setiap nada ketukan di rumah ini bahkan langkah kaki dalam radius sepuluh meter.
"Masih ragu ya..tinggal tiga hari lagi lho..", wanita berusia awal tiga puluh tahun itu mendekati meja rias dan langsung memungut kertas merah maroon yang sedari tadi kupandangi dengan begitu seksama.
"Haha..iya nih", aku cuma tertawa ringkuh tidak bisa lari dari alasan seperti biasanya.
"Hmm kak,maafkan aku...", sedetik dua detik tidak ada respon.Sial,kenapa juga tadi melontarkan kata-kata ala drama sperti itu, sesuatu yang bukan aku. Maksudku aku bukan tipe orang yang meminta maaf dengan helaan nafas sebelumnya lalu dilanjutkan dengan tatapan  mata berkaca-kaca.
"Maaf kenapa?",dasar Arinka..dia masih saja bisa berpura-pura seperti ini bahkan di saat aku sudah serius hingga momen sekarang ini terlihat seperti sebuah skenario telenovela.
"Mendahulukan kakak, maksudku aku minta maaf atas dua puluh dua tahun yang tidak mengenakkan,mengambil jatah kasih sayang Mama dari kakak, harus rela berbagi mainan bahkan makanan walaupun itu hak kakak sepenuhnya bahkan sekarang..lusa depan itu harusnya harinya kakak,bukan aku",serentetan kata-kata yang telah kuatur sejak semalam mengalir begitu saja keluar dari catatan yang telah kutulis dalam memo tablet.
"Merasa bersalah ya? Kenapa tidak dari dulu meminta maaf padaku?", deg..!!!Oh God,dia serius atau bercanda, kali ini aku sudah tidak bisa membedakan situasi lagi mana hitam dan mana putih. Semua terlihat begitu abu-abu di mataku. Kertas yang dari tadi ia genggam sekarang mulai di elus perlahan, jemarinya yang terawat menelusuri setiap ukiran benang berwarna gold yang mengukir serangkaian nama dan sebait kata-kata mutiara yang sudah lazim kubaca.
"Nadhira Asla, S.I.Kom bersediakah kamu menerima Alfian Latif, S.E,MBA menjadi teman hidupmu?teman sehidup sematimu?" Tidakkkk,maksudku aku tentu akan menjawab tidak kali ini kalau saja itu memungkinkan.
"Kak..ayolah...", hanya kata itu yang akhirnya keluar.
Arinka mengerlingkan matanya padaku. Dia tau aku sudah mulai muak dengan intro yang sedari tadi dia mainkan. Dia merupakan salah satu dari beberapa orang yang sangat tau dengan sifatku yang tidak sabaran dan suka terburu-buru. 
"Nad kamu tau tidak? Sejak kamu lahir dan dibawa pulang ke rumah ini kakak sudah memaafkan kamu. Rasanya masih seperti hari kemarin. Papa datang kerumah pag-pagi sekali sebelum kamu,mama dan ayah datang ke rumah ini. Papa membangunkan kakak yang semenjak semalam terus-terusan menangis seperti tidak menerima nasib kalau boneka kesayangannya dirampas orang lain. Papa bilang kakak akan punya adik baru dan ayah baru dan Papa tidak bisa terus-terusan menemani kakak lagi karena...", aku bisa membaca kesedihan dan rasa kecewa yang begitu mendalam dari wajahnya yang masih terlihat cantik di saat sudah berkepala tiga. Ya..bulan Januari tahun 1991 telah memberikan hadiah yang begitu mengecewakan baginya. Seorang adik perempuan yang akan lahir dan ayah baru yang terdengar lebih sopan dari pada ayah tiri. Mama, wanita yang telah melahirkanku memilih meninggalkan lelaki yang telah menjadi ayah dari anak pertamanya lantaran kata Mama ia tidak mau di madu. Tidak lama setelah itu, dua tahun kemudian Mama dijodohkan lagi dengan anak teman kakek yang tak lain adalah ayahku sendiri. Mama pernah bercerita selama dua tahun ia menjadi single parent Papa nya kakak masih sering datang ke rumah. Ia tak ingin kakak terlihat sperti anak yang tidak ada bapaknya, begitu lah kira-kira cerita yang ku peroleh. Ketika usiaku menginjak tujuh belas tahun aku pernah sekali bertemu dengan Papa nya kakak. Mama mengundangnya di hari acara ulang tahun tujuh belas manis-ku. Betapa tidak manis, kedua orang tua ku mengabulkan keinginanku untuk memilih jurusan yang paling aku idam-idamkan meskipun mereka kurang menyetujui di awal hanya karena tidak ingin anaknya terlibat hal-hal yang sering mereka lihat di TV. Jurnalis. Satu kata yang mampu membuat detak jantungku berdegup tak kencang tatkala melihat Najwa Shihab, salah satu sosok yang aku kagumi nongol di depan TV meskipun ia mengabarkan kenaikan BBM sekalipun.
"Kakak senang ya sekarang sudah punya adik dan ayah baru..", aku menguping pembicaraan ketika kakak ku dan Papanya duduk berdua di halaman belakang. Sepertinya mereka menghabiskan waktu untuk bernostalgia di rumah ini seperti belasan tahun yang lalu.
"Ia kakak senang punya adik baru, tapi lebih senang dengan ayah yang lama...", kalimat yang terkahir ku dengar karena aku tidak ingin lagi menguping lebih lanjut. Kakak memang sopan dan menghormati ayahku. Sejauh ini kami hidup layaknya iklan program KB dengan dua anak sudah cukup,kecil namun bahagia. Namun, dibalik semua itu aku tau kakak masih belum bisa menerima kenyataan kalau formasi keluarganya harus berubah di saat usianya masih delapan tahun. Sekali waktu, aku pernah menanyakan kenapa Mama masih memajang foto masa lalu  keluarga kecilnya tepat di samping foto keluarga kami. Jawaban Mama waktu itu sempat mengejutkanku,"Permintaan kakakmu,biarkan saja". Sejak saat itu aku tidak pernah lagi menyinggung soal sejarah keluarga kami. Hingga akhirnya sekarang kakak lah yang memulai ceritanya.
"Kamu persis seperti papa..papanya kakak, penuh ambisi,semangat yang tiada matinya bahkan terkadang cenderung terbawa emosi..".
".....", tidak ada tanggapan dariku. Tidak ada perasaan tersinggung karena ucapan kakak yang menomorsatukan gen ayahnya ke dalam karakterku. Kakak benar, aku mamang begitu adanya.
"Dan kakak tau kamu sangat emosi bukan ketika harus menerima kenyataan di jodohkan dengan Fian di saat obsesimu hampir mendekati puncaknya sampai-sampai kamu tidak mencoba mengevaluasi undanganmu sendiri,hey..mana tau ada kesalahan penulisan didalamnya", bungkusan plastik berpita emas di buka perlahan. Kakak mengamati dengan seksama, aku tau sebenarnya pikirannya sama sekali tidak mencerna kata-kata didalamnya. Mungkin sekarang ia sudah jauh menerawang ke acara tiga hari kedepan. Bahkan ia lebih perhatian dari pada diriku sendiri yang justru jadi pemeran utamanya.
"Eropa memang cita-citaku dari dulu kak..aku berusaha keras mewujudkannya bahkan ketika masih duduk di sekolah dasar ketika pertama kali mengenal tujuh keajaiban dunia dan belajar apa itu peta dan seperti apa wujudnya Eropa", aku menghela nafas panjang. Rasanya akhir-akhir ini aku seperti pengidap asma akut yang susah sekali menghela nafas, sehingga apa-apa jadinya serasa begitu berat bahkan di momen yang paling ditunggu semua gadis di saat ia harus mengakhiri masa-masa berseminya.Pernikahan.
“Sudah dipersiapkan semuanya?”, pertanyaan khas yang seperti biasa kakak lontarkan saat aku akan meliput acara ke luar kota. Bulan lalu, aku mengajukan diri sebagai reporter VOA untuk Belanda dan hasilnya aku diterima,kedengarannya begitu easy going bukan hanya dalam waktu  dua hari aku sudah mendapatkan apa yang sebagian orang idam-idamkan. Meniti karir di negri kincir angin di usia muda melalui media berkelas internasional lagi. Tapi itu semua tidak semudah yang orang bayangkan. Tidak segampang ucapan gadis berambut pirang, maksudku rambut yang di cat kebarat-baratan yang aku jumpai di lift sehabis menerima pengumuman bahwa proposalku diterima.
“Hm…mungkin dia ada affair sama bos yang barusan mewawancarai kita,terang aja..cantik sih kalo boleh jujur”, oh ya…tanpa berbisik pun aku masih bisa mendengar dengan jelas. Hellooo…ini ruangan yang hanya selangkah ke kiri ke kanan ke depan dan kebelakang bagaimana dia bisa menggosip hal-hal yang tak jelas kebenarannya dibelakangku yang hanya berjarak satu langkah kaki saja. Ngomong-ngomong terima kasih untuk pujian jujurnya. Aku mengucapkannya secara tulus di dalam hati.
“Bisa jadi sih…sekarang pekerjaan bukan cuma soal skill doang..”, lelaki yang sepantaran dengan wanita si rambut pirang menyambar. Tanganku mengepal satu tinju kuat-kuat, yang berkamuflase seolah-olah aku menggenggam dokumen erat-erat takut kejatuhan. Ingin rasanya menampar langsung mulut-mulut tak bertanggung jawab, itu, apalagi lelaki yang disebelahnya yang tiba-tiba terlihat seperti ibu-ibu rumpi dikompleks rumahku.
“Mbak, untuk menjadi jurnalis sejati kita harus bisa memaparkan informasi yang sudah teruji keakuratanya bukan? Tidak hanya mungkin atau bisa jadi,bukan begitu mas?”, satu kalimat tanya sekaligus pernyataan dariku sebelum aku keluar dari lift. Ekspresi yang kudapatkan dari keduanya cukup memuaskan ku, sepasang mata yang mendelik dengan alis berkerut tak lupa bibir menganga membentuk huruf O sempurna tanpa sudut.Perfect! Mereka harus diberi teguran yang edukatif, pikirku. Orang-orang seperti mereka tidak tau saja bagaimana kegilaanku berusaha membawa media lokal bersama rekan-rekan seperjuangan lainnya sampai-sampai kami harus menjadi tawanan para tersangka yang sedang diliput karena tiba-tiba mereka memberontak dan melanggar kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya.
Kembali ke pertanyaan kakak barusan, aku hanya menoleh ke arah tumpukan barang-barang hasil memborbardir isi lemari semalaman. Semuanya ditumpuk di sudut kamar tanpa ada satupun yang tersusun rapi dan siap dimasukkan ke dalam koper.
“Kamu terlalu mengejar duniamu, nanti nyesel sendiri lho bisa-bisa seperti kakak nantinya..”, aku tak berani menatap mata kakak. Ah..begitu banyak cerita sedih darinya..mulai dari kehilangan papa nya yang ia anggap sebagai lelaki cinta pertamanya hingga Mas Dika yang pergi begitu saja lantaran mengejar gelar masternya ke negeri seberang. Jarak yang bahkan bisa ditempuh dalam waktu puluhan menit saja. Alasan kakak waktu itu ia tidak bisa meninggalkan pekerjaan yang baru memberikan posisi asisten manajer untuknya. Hubungan yang sudah berjalan lima tahun pun kandas setelah sempat terikat oleh cincin tunangan.
“Tapi ini beda kak..aku masih terlalu bocah untuk hal seserius ini, aku belum siap sama sekali..bahkan Fian juga ku rasa, dari minggu kemaren hingga saat ini sedetikpun dia tidak pernah menelponku bahkan untuk sekedar menanyakan apakah aku excited hingga hampir susah bernafas rasanya..”, sambil menendang kecil benda di hadapanku seperti biasa aku selalu menumpahkan kekesalan dan rasa emosiku pada kakak.
“Lha..kan kamu lagi dipingit Nad, gimana sih kamu ya mana bisalah…”
“BBM,whatsapp,line,telepon seluler bahkan e-mail juga gak ikut-ikutan dipingit kali kak..”,aku memotong pembicaraan kakak-ku, lagi-lagi dia hanya tersenyum seperti menghadapi balita yang sedang merajuk karena tidak dibelikan mainan baru.
“Percaya pada mama,ayah dan kakak kali ini saja Nad..Fian memang bukan lelaki sesempurna imam yang kamu impi-impikan tapi dia cukup sempurna untuk menutupi kekuranganmu dan membimbingmu. Dia lelaki yang berani mempertanggungjawabkan mu dihadapan Allah sekaligus di hadapan kami. Kakak tau kamu masih begitu menikmati masa mudamu, tapi ingat..masa muda itu usianya juga muda..jangan sampai sia-sia begitu saja hanya karena euforianya. Ayah, terlebih lagi mama. Mereka tidak mempunyai nyali kuat untuk melepasmu jauh ke negri orang tanpa ada yang menggantikannya sebagai pelindungmu seperti disini.Nad, perempuan itu…”
“Perempuan itu…seperti kaca..kalau sudah retak ya retak…mau sebagus apapun perekatnya pasti bekas retakannya terlihat..”, aku tersenyum jahil menyambung kalimat kakak selanjutnya. Wejangan yang selalu disampaikan ayah ketika kami menikmati suasana sore dihalaman belakang.
“Tuh sudah hapal di luar kepala, ya sudah nanti biar kakak bantu mempersiapakan keperluanmu kakak sudah minta perpanjangan cuti hmm… mana tau bisa ikut acara bulan madu mu sekalian melihat seperti apa tempat tinggal baru mu di Belanda sana kalau dibolehkan pengantinnya sih..”, kata-kata kakak barusan membuatku hampir menganga. Fian, calon suamiku sudah bisa dipastikan tak akan ada waktu untuk bulan madu semanis apapun itu berhubung dia akan langsung mengurus administrasi pendidikannya. Lelaki yang dua tahun lebih muda dari kakak. Teman sekelasnya semasa SMA dulu yang saking pintarnya hingga kelas akselerasi terasa seperti kelas biasa dan beasiswa prestius seperti Leiden Universiteit terdengar seperti ulangan harian saja yang belum sepenuhnya mengeksplor seluruh adrenalinnya akan akademis.
“Kakak beneran??Ya ampun kakak tentu saja…honeymoon ini milik kita berdua..!!!”, aku langsung menjerit kegirangan tanpa memperdulikan orang-orang di luar yang tengah sibuk menata rumah demi hari-ku nanti. Ayah yang tadi sempat mondar-mandir melirik kedalam, kalimat yang ia lontarkan  terasa begitu menggelikan di telingaku.
“Hush..pengantin gak boleh teriak-teriak seperti itu…”, reaksiku?tersenyum mengulum sambil memasang ekspresi seolah-olah mengatakan meskipun tiga hari lagi aku akan jadi pengantin toh aku masih putrid kecilnya ayah juga.
“Hihihi..kamu tuh ya belajar lebih bijak sekarang..gak harus sok kedawasa-dewasaan ntar cepat tua. Oya ini surat dari calon mempelai priamu tadi kakak nganterin tiket dan visa kesana trus dititipin ini sama calon mertuamu,hmm..spertinya e-mail nya Fian juga dipingit tuh. Cuma ini doank yang gak dipingit”, kakak mengangsurkan amplop surat kepadaku. Tanpa aba-aba menunggu kakak keluar kamar dulu aku langsung membuka dan membacanya, surat cinta pertama dan yang terkahir. Fian merupakan lelaki kesekian yang mendekatiku namun langsung didaulat ayah untuk memutuskan masa PDKT ke jenjang yang lebih mulia dan jelas. Ini kali pertama aku merasakan pipi ku bersemu merah melihat surat cinta dari calon imamku yang ternyata romantis juga. Aku pikir dia akan sibuk dengan proposal dan buku-buku bantalnya itu.
Teruntuk calon ma’mumku Nadhira Asla..
Sudah belajar apa saja untuk merawat imam mu nanti? Sudah bisa memasak rendang kesukaanku kah? Atau sudah bisa menjahit bahkan merajut syal untuk persiapan menghadapi musim dingin kita di Belanda nanti? Ibuku orang yang selalu cerewet soal itu, ibuku yang akan menjadi ibumu juga nantinya  sepertinya mulai khawatir anaknya tiba-tiba kehilangan berat satu ons hanya karena perkara perut hahaha. Orangtua mu pasti juga berpikir demikian, sekarang aku sedang berkutat dengan buku-buku ku seperti biasanya belajar bagaimana caranya agar ayahmu tidak lagi mengkhawatirkan putri kesayangannya tak akan kekurangan apapun nantinya hahaha.
Hmm..tak perlu terlalu banyak belajar memasak bahkan merajut syal untukku,nanti jarinya lecet dan tak bisa menulis berita lagi, pelajaran pertama yang harus dipelajari adalah belajarlah mulai dari sekarang memanggilku Mas jangan panggil Fian terus-terusan walau baby face begini kita terpaut enam tahun lho…

Calon imam mu 3 hari lagi
Alfian Latif
Aku melipat kembali surat singkat yang telah membuat pipiku bersemu merah. Untuk kali pertama sepanjang 22 tahun hidupku aku merasa jatuh cinta itu begitu indah, begitu indah jika dijatuhkan ke mahligai pernikahan. Kakak yang sedari tadi menyapu setiap sudut wajahku yang  berusaha menahan senyum malu-malu seolah menunggu jawaban dari ku segera. Jawaban yang sudah bisa dibaca sebenarnya, hanya saja kakak tipe orang yang memastikan sesuatu secara pasti, tak cukup hanya dengan pengamatan belaka.
“Sepertinya aku salah menilai orang, calon suami sendiri lagi..”, aku tertunduk setengah malu setengah senang. Malu betapa aku mengharapkan Alfian bertingkah seperti romeo ternyata ia lebih indah dari sekedar romeo di mataku.
“Yah namanya kamu juga bocah tamat SMA tahun kemaren..”, kakak menjawil pipi ku mencoba menggoda. Ayah yang dari tadi sibuk mondar-mondir di depan kamar sambil menunjuk sana dan sini mengatur susunan rumah untuk tiga hari kedepan menghampiri kami. Aku tau ada rasa gelisah dan ragu yang tergurat di wajah tuanya. Tiga hari lagi ayah harus berbagi kasih sayang  dengan lelaki lain.
“Tapi tetap saja ia tak akan mengalahkan cinta pertamaku kak..”, aku segera berlari kecil menghampiri ayah yang berdiri di pintu kamar. Aku menggamit tangan ayah dan mendaratkan kecupan kecil di pipi kanannya.
“Ayah..terima kasih telah menjadi lelaki cinta pertama Nadhira..”, ayah mengusap kepala ku pelan. Sepasang bola mata yang selalu menjadi tempat ku mengadu itu terlihat membayang berkaca. Aku manatap ayah seolah tidak akan bertemu lagi. Ya...tiga hari lagi..tiga hari dari sekarang..”Tidak akan ada yang berubah Nadhira…bahkan yang ada semuanya akan bertambah..semua yang kau punya..bersykurlah”, kalimat itu terdengar semakin bergema ya..tiga hari lagi akan ada ayah baru lagi..ayah untuk anak-anak ku kelak.