Senin, 28 Desember 2015





Vivian

Vivian. Perempuan muda dua puluh tahunan yang sukses di usia muda.
Vivian. Perempuan paling cantik yang pernah aku temui, pintar pula.
Vivian. Perempuan dengan kekayaan dan kemewahan yang memanjakan.
Vivian. Perempuan dengan list pelamar pria terbanyak tanpa cela.
Vivian oh Vivian...andai raga itu milikku.

Aku melirik pergelangan tangan. Memar biru yang menggantikan lingkaran tali jam ku terlihat begitu menyakitkan. Gara-gara pindahan kost kemarin aku memaksakan mengangkut semua barang-barang dalam satu tas besar dan menjinjingnya seorang diri. Hasilnya seperti prediksi teman ku kalau tidak patah ya palingan keseleo, itu juga udah untung "cuma keseleo" katanya. Maka disinilah aku sekarang di sebuah rumah sakit swasta ternama di kawasan Jakarta Pusat menunggu antrian. Awalnya aku hanya berencana ke klinik umum saja minta diberi resep dan salep biasa. Namun mengingat gradasi warna yg sudah mulai berubah gelap maka kuputuskan untuk berkonsultasi langsung ke bagian ahli saraf. Sedari tadi beberapa pasangan suami istri mondar-mandir dengan raut bahagia dan cemas yang tergambar sekaligus. Dokter kandungan yang ruangannya berada tak jauh dari prodi saraf terlihat begitu menyenangkan untuk dikunjungi. Seolah si dokter memberikan souvenir senyuman paling bahagia bagi para pengunjungnya. Ah..betapa bahagianya mereka yang sudah menikah, hmm...bagaimana denganku nanti?.

"Ka, lo rencana nikah di umur berapa? si perempuan cantik bertanya padaku. Aku meliriknya dari atas sampai bawah, sampai ujung kuku kakinya yang begitu mengkilap hasil perawatan salon yang rutin.
"Tergantung lo", aku menjawab singkat dan kembali melanjutkan membaca. Si cantik itu merengut. Alisnya yang seperti hasil sulaman itu bertaut. Oh..Tuhan bahkan ketika dahinya merengut pun tetap saja cantik. Menyebalkan!
"Gue? Lo mau nungguin gue maksudnya?", seolah tak percaya ia menarik paksa majalah wanita yang sedari tadi aku pandangi.
"Iya, setelah lo berhitung kancing pria mana yang mau lo pilih dan sisanya jatah gue!", aku membalas sinis sambil menarik kembali majalah yan telah dirampasnya. Andai saja aku juga bisa menarik Fathan semudah ini. Tapi tak mungkin, itu hanya mimpi Kartika bagaimana mungkin kamu bisa mengalihkan dunia Fathan dari pesona Vivian. Wajahmu? jangan berkhayal yang tidak-tidak lagu tetaplah hanya barisan lirik yang berusaha meraih perhatian pendengarnya.
Sejak saat itu si cantik Vivian semakin gencar menanyaiku kapan menikah, seperti apa pria yang aku dambakan dan seabrek pertanyaan seputar angan-anganku dengan Fathan yang selama ini aku simpan rapat-rapat. Hanya saja tiga hari belakangan ini aku tidak lagi mendengar kicauan nya yang bak burung beo itu. Bahkan sekedar berkicau di medsos pun tidak, sampai-sampai para fans nya itu menanyakan perihal menghilangnya sang idola dari peredaran dunia maya. Biarlah ia diam sejenak, biarkan aku tenang sebentar saja dan mencoba menghirup oksigen dengan sempurna tanpa ada satu partikelpun yang luput. Belasan tahun hidup bersama tuan putri membuatku merasa seperti upik abu. Cukup menjadi bayang-bayang dan tak pernah mampu memainkan peranku sendiri.
“Ibu Riana Kartika!”, satu panggilan dengan nada lantang membuyarkan imajiku. Dengan langkah gontai takut dan cemas kalau seandainya  akan mendapatkan suntikan tiba-tiba bergelayut  membuyarkan lamunanku.
“Selamat sore ibu Kartika..”, sebuah sapaan ramah terdenganr nyaring. Ah..suaranya begitu mirip sosok yang begitu melekat dalam lamunan sebelum tidurku. Entah aku yang seorang pengkhayal akut atau memar pergelangan tangan ku sudah menjalar keseluruh tubuh rasanya seperti susah menarik nafas. Tiba-tiba paru-paruku terasa sempit untuk menampung oksigen bahkan sekedar menghirup nafas aku hampir lupa bagaimana caranya.
“Hey…take a breathe please!, ajaibnya lentikan jemarinya seperti tombol play dan pause yang seketika itu juga mampu menggerakkan kembali kebekuan yang ada dan ffiuuuhhhh… aku rasa ini bukanlah khayalan seperti biasanya.
“Fa..tha..nnn, hey !’, sebisa mungkin aku memaksa otakku mencerna sapaan apa yang pantas untuk situasi yang mungkin hanya terjadi di alam mimpi.
“Jangan bertanya apa kabar dan how could as usual, OK? Let me take care my patient first..”, aku hanya mengangguk seperti  hewan peliharaan yang mematuhi instruksi majikannya.
Belasan menit berlalu hanya hening yang memenuhi ruang 4x4 meter ini.
“Hmm…ajaib setelah tiga tahun berlalu kamu sudah tidak takut jarum suntik lagi, terakhir ingat tidak yang waktu kamu demam panas sehingga aku harus memberikan suntikan agar panas mu cepat turun, ingat Vivian bahkan mempersiapkan tali ikatan agar kamu mau disuntik hahaha”, masih diam, aku mendengar dalam diam. Mengingat-ingat kejadian tiga tahun yang lalu. Ketika malam dini harinya suhu badanku memuncak dan si cantik Vivian dengan paniknya mengabari seorang dokter muda yang baru saja diwisuda untuk mengusir kepanikannya.
“Haha iyaa..”, aku meraba pergelangan tanganku yang mulai terasa sedikit nyeri setelah suntikan tadi, gila..aku sampai mati rasa begini.
“Kamu apa kabar? Tiga tahun ini kemana maksudku kenapa tidak ada kabar?”, aku melanggar aturan itu akhirnya. Mulutku sudah tidak tahan untuk tidak bertanya.
“ Baik, tiga tahun ini fokus mengejar mimpi sama seperti kamu yang sekarang sudah sukses menjadi editor majalah wanita ternama”, dia masih sepintar dulu ternyata.
“Tidak sesukses Vivian tapi, si cantik mu itu minggu depan akan jadi menejer”, tidak mau kalah aku mencoba mengalihkan topik. Penasaran bagaimana ekspresinya ketika mendengar nama itu.
“Tapi editor sepertimu tidak kalah saing dengan seorang marketing manager kok”
“Hahaha kamu ngepoin kita? Jadi selama tiga tahun ini nama ku dan Vivian pasti memenuhi mesin pencari di berbagai akun mu”, kali ini aku tertawa lepas membayangkan bagaimana dia mencari tau apa yang terjadi antara aku dan Vivian sekarang.
“Ibu Kartika, aku seorang dokter saraf yang baru lulus dan tidak memiliki waktu luang untuk hal gak penting seperti itu!”, dia balas melirikku ketus.
“Ok..well…
“Vivian…vivian yang cerita”, seolah tau akan rasa penasaranku, Fathan, pria yang dulu sempat mengisi imajiku merespon beberapa hipotesa yang sempat aku rancang.
“Tiap sore aku sering ketemu dia disini hmm..semenjak dia jadi pasien tetap prodi sebelah”, prodi sebelah? Lha bukannya itu bagian kandungan. Baiklah, ini waktu pemeriksaan yang cukup lama dan sepertinya aku harus segera keluar sebelum penyakit kepo- ku kembali kambuh.
Hanya selang beberapa menit langkah kaki terdengar mendekat.
“ Eh ada Tika juga disini”, suara itu..suara yang selalu menghambat setiap langkahku sama halnya seperti sore ini.
“Hai Vi”, aku berbalik penuh basa-basi. Fathan menatapku dan Vivian bergantian seolah mencium kerenggangan hubunganku dengan si Cantik ini.
“Hai Vi bagaimana hasil lab nya?”, Fathan berjalan pelan menjauh dariku dan mendekati Vivian perlahan dalam arti sebenarnya, hanya saja itu seperti konotasi dalam historikal asmaraku.
“Positif..”, air mukanya tiba-tiba berubah suram.
Toxoplasmosis itu bisa diobati kok..”, dengan pelan Fathan menepuk pundak Vivian seolah ingin menghapus kesuraman yang bergelayut di wajah cantiknya.
“Lo sakit Vi?, aku tau ini adalah hal bodoh ketika orang-orang selama ini tau hanya aku teman terdekat Vivian.
“Iya Ka..sakit hati…”, dengan senyum yang dibuat terpaksa ia mendekatiku dan seperti biasa bersandar manja di bahuku. Arrghh..aku benci sikapnya yang sok manja dan kekanak-kanakan ini.
“Gue serius Vi..elo masih aja..”
“Gue batal tunangan sama Yudha Ka..”, belum selesai keterkejutanku bertemu tiba-tiba dengan laki-laki yang selama ini aku impikan. Kini, Vivian seperti bersekongkol dengan Fathan untuk memberikan surprise demi surprise kepadaku.
“How could?”, aku menatapnya tajam sambil memegang kedua bahunya. Tidak mungkin seorang Yudha sanggup meninggalkan Vivian yang telah ia perjuangkan bertahun-tahun meskipun ia harus menahan sakit hati betapa banyak laki-laki diluar sana yang mencoba merebut Vivian dari tangannya.
“Everything could happen Ka..”
“Tapi ini impossible Vi, lo cantik lo pinter lo..”
“Trus kalo gue cantik kenapa?cantik bukan jaminan Ka, pinter? Kalo gue pinter dari dulu gue harusnya tau kondisi badan gue ga sebaik yang gue kira”, bola matanya mulai menerawang dan perlahan memerah. Aku melirik Fathan tapi ia hanya diam mematung dan tak berniat membantu memecahkan teka-teki ini.
“Gue positif mengidap toxoplasmosis “, aku memutar kincir-kincir otakku. Nama penyakit itu terdengar  sudah tidak asing lagi. Ya tentu saja aku seorang maniak kucing dan sering mendengar kata-kata itu dari mulut ibu. Bagaimana ibu memarahiku ketika hampir tiap minggu aku pulang kerumah menambah koleksi kucing yang sering kutemukan di jalanan antah berantah.
“Lo yang maniak kucing tapi kenapa gue yang kena sialnya ya..”, mataku langsung membelalak dan menatap Vivian minta penjelasan. Aku tidak berpendapat kalau ini situasi yang bagus untuk diajak bercanda.
“Bercanda…guenya yang ceroboh karena gue gak pinter ngurus diri sendiri, lo tau kan gue ketergantungan banget sama orang lain..”, ya..aku sangat setuju untuk hal yang satu ini. Seberapa dekat pun orang melihat aku dengan Vivian berteman tapi tetap saja aku tidak mau hidup serumah dengannya meskipun itu gratis. Aku lebih memilih untuk menyewa kamar kost daripada harus tidur di kapal pecah setiap harinya.
“Nah itu lo tau Vi sekarang lo harus mandiri dan disiplin sama diri lo sendiri. Gue punya kenalan dokter kandungan waktu di KL dulu. Dia sering menangani kasus toxoplasmosis”, Fathan akhirnya bersuara sambil melirikku.
“Atau gimana kalo kalian berdua serumah aja. Percuma kan Vi lo beli rumah tapi isinya cuma buat lo doank”, kali ini mataku membelalaki Fathan seolah bicara you know me so well-lah.
“Lo juga Ka ngapain buang-buang duit nge-kost sementara Vivian punya banyak kamar”, Vivian memasang muka datar . Mungkin ia tau kenapa aku hanya sanggup bertahan satu bulan tidak lebih sehari pun hidup serumah dengannya.
“Kalian kenapa sih? Atau maksudnya maunya serumah ama gue aja gitu”, kali ini bukan pertanyaan dan entahlah apa itu pernyataan. Hanya saja kerlingan mata Fathan yang tertuju padaku mampu membuat semburat merah di pipi yang sulit disembunyikan.

Aku memegang erat tangan Vivian. Membiarkan kepalanya masih bersandar manja dibahuku. Mengelus rambutnya yang sehalus sutra. Tak ada sedikitpun kekesalan dan cemburu yang terbersit di setiap belaiannya.

Vivian. Perempuan muda dua puluh tahunan yang sukses di usia muda.
Vivian. Perempuan paling cantik yang pernah aku temui, pintar pula.
Vivian. Perempuan dengan kekayaan dan kemewahan yang memanjakan.
Vivian. Perempuan dengan list pelamar pria terbanyak tanpa cela.
Vivian oh Vivian...aku tak lagi berandai raga itu milikku.









Kamis, 27 Agustus 2015

Wa'fuanni, Maafkan aku

Ini seperti mimpi buruk bukan?
Baru saja aku mendengar semua mimpinya dan sekarang terjadi
Menyeramkan bukan?
Baru saja aku membayangkannya dan sekarang dihadapanku
Aku bisa apa?
Aku ini siapa?
Aku harus bagaimana?
Malu? Iya,aku malu
Sangat amat malu hingga semburat merah diwajah habis tak bersisa meninggalkan ronanya
Malu tiba-tiba datang lagi di tengah malam 
Lantaran tak dihiraukan lagi ketika mencoba mengetuk pintu yang lain
Malu merengek lagi seperti bocah kecil yang tak dibelikan mainan
Setelah sekian lama tidak merengek karena merasa sudah cukup
Tapi untuk kesekian kalinya aku teriakkan
Aku tidak bisa apa-apa
Bosan memang mendengarnya
Tapi Tuhan..benar adanya aku tidak bisa apa-apa tanpa-Mu
Dan Engkau yang tak pernah bosan untuk mendengarkan lagi rengekanku malam ini
Aku rindu..sangat rindu sekarang hingga sajadah terasa empuk dibandingkan kasur malam ini
Aku datang lagi, kali ini tidak meminta harta karun atau emas permata
Benar Tuhan, aku sudah cukup...berlebih bahkan limpahan kasing sayang-Mu
Aku hanya ingin Engkau mendengarkan celotehan air mataku lagi
Seperti masa silam ketika aku merasa selalu kurang
Kali ini tidak ada rapalan doa panjang yang sibuk kurapalkan agar keinginan duniaku Engkau wujudkan
Bingung, berkaca pada bayangan do'a apakah yang harus aku hapal untuk dipanjatkan malam ini
Aku hanya sedikit berceloteh malam ini karena ribuan kata tak lagi bisa kurangkai Tuhan

Rabbighfirli
Tuhanku, ampuni aku
Warhamni
Sayangi aku
Wajburnii
Tutuplah aib-aibku
Warfa'nii
Angkatlah derajatku
Warzuqnii
Berilah aku rezeki
Wahdinii
Berilah aku petunjuk
Wa'Aafnii
Sehatkan aku
Wa'fuannii
Maafkan aku...


Tuhan maafkan aku...




Senin, 16 Februari 2015


Kisah Sepenggalan untuk Kasih Sepanjang Jalan...

Sejak seminggu yang lalu aku belum bisa tidur nyenyak. Kertas berwarna merah maroon yang tergeletak di sudut meja rias menjadi pusat perhatianku akhir-akhir ini. Kalau bukan karena Mama..kalau bukan Mama..alasan yang dari dulu selalu aku lontarkan. Arinka,kakak semata wayangku mengatakan aku selalu "mengkambinghitamkan" Mama untuk setiap kepentingan yang selalu tidak dapat approval.Obsesi yang cenderung bercampur emosi dan hanya sekedar hawa nafsu,begitu pikirnya.
"Tok..tok..tok..",ah..pasti dia lagi, baru saja terpikirkan.
"Ia kak masuk...",tak butuh berbasa-basi untuk menanyakan siapa karena aku sudah hapal setiap nada ketukan di rumah ini bahkan langkah kaki dalam radius sepuluh meter.
"Masih ragu ya..tinggal tiga hari lagi lho..", wanita berusia awal tiga puluh tahun itu mendekati meja rias dan langsung memungut kertas merah maroon yang sedari tadi kupandangi dengan begitu seksama.
"Haha..iya nih", aku cuma tertawa ringkuh tidak bisa lari dari alasan seperti biasanya.
"Hmm kak,maafkan aku...", sedetik dua detik tidak ada respon.Sial,kenapa juga tadi melontarkan kata-kata ala drama sperti itu, sesuatu yang bukan aku. Maksudku aku bukan tipe orang yang meminta maaf dengan helaan nafas sebelumnya lalu dilanjutkan dengan tatapan  mata berkaca-kaca.
"Maaf kenapa?",dasar Arinka..dia masih saja bisa berpura-pura seperti ini bahkan di saat aku sudah serius hingga momen sekarang ini terlihat seperti sebuah skenario telenovela.
"Mendahulukan kakak, maksudku aku minta maaf atas dua puluh dua tahun yang tidak mengenakkan,mengambil jatah kasih sayang Mama dari kakak, harus rela berbagi mainan bahkan makanan walaupun itu hak kakak sepenuhnya bahkan sekarang..lusa depan itu harusnya harinya kakak,bukan aku",serentetan kata-kata yang telah kuatur sejak semalam mengalir begitu saja keluar dari catatan yang telah kutulis dalam memo tablet.
"Merasa bersalah ya? Kenapa tidak dari dulu meminta maaf padaku?", deg..!!!Oh God,dia serius atau bercanda, kali ini aku sudah tidak bisa membedakan situasi lagi mana hitam dan mana putih. Semua terlihat begitu abu-abu di mataku. Kertas yang dari tadi ia genggam sekarang mulai di elus perlahan, jemarinya yang terawat menelusuri setiap ukiran benang berwarna gold yang mengukir serangkaian nama dan sebait kata-kata mutiara yang sudah lazim kubaca.
"Nadhira Asla, S.I.Kom bersediakah kamu menerima Alfian Latif, S.E,MBA menjadi teman hidupmu?teman sehidup sematimu?" Tidakkkk,maksudku aku tentu akan menjawab tidak kali ini kalau saja itu memungkinkan.
"Kak..ayolah...", hanya kata itu yang akhirnya keluar.
Arinka mengerlingkan matanya padaku. Dia tau aku sudah mulai muak dengan intro yang sedari tadi dia mainkan. Dia merupakan salah satu dari beberapa orang yang sangat tau dengan sifatku yang tidak sabaran dan suka terburu-buru. 
"Nad kamu tau tidak? Sejak kamu lahir dan dibawa pulang ke rumah ini kakak sudah memaafkan kamu. Rasanya masih seperti hari kemarin. Papa datang kerumah pag-pagi sekali sebelum kamu,mama dan ayah datang ke rumah ini. Papa membangunkan kakak yang semenjak semalam terus-terusan menangis seperti tidak menerima nasib kalau boneka kesayangannya dirampas orang lain. Papa bilang kakak akan punya adik baru dan ayah baru dan Papa tidak bisa terus-terusan menemani kakak lagi karena...", aku bisa membaca kesedihan dan rasa kecewa yang begitu mendalam dari wajahnya yang masih terlihat cantik di saat sudah berkepala tiga. Ya..bulan Januari tahun 1991 telah memberikan hadiah yang begitu mengecewakan baginya. Seorang adik perempuan yang akan lahir dan ayah baru yang terdengar lebih sopan dari pada ayah tiri. Mama, wanita yang telah melahirkanku memilih meninggalkan lelaki yang telah menjadi ayah dari anak pertamanya lantaran kata Mama ia tidak mau di madu. Tidak lama setelah itu, dua tahun kemudian Mama dijodohkan lagi dengan anak teman kakek yang tak lain adalah ayahku sendiri. Mama pernah bercerita selama dua tahun ia menjadi single parent Papa nya kakak masih sering datang ke rumah. Ia tak ingin kakak terlihat sperti anak yang tidak ada bapaknya, begitu lah kira-kira cerita yang ku peroleh. Ketika usiaku menginjak tujuh belas tahun aku pernah sekali bertemu dengan Papa nya kakak. Mama mengundangnya di hari acara ulang tahun tujuh belas manis-ku. Betapa tidak manis, kedua orang tua ku mengabulkan keinginanku untuk memilih jurusan yang paling aku idam-idamkan meskipun mereka kurang menyetujui di awal hanya karena tidak ingin anaknya terlibat hal-hal yang sering mereka lihat di TV. Jurnalis. Satu kata yang mampu membuat detak jantungku berdegup tak kencang tatkala melihat Najwa Shihab, salah satu sosok yang aku kagumi nongol di depan TV meskipun ia mengabarkan kenaikan BBM sekalipun.
"Kakak senang ya sekarang sudah punya adik dan ayah baru..", aku menguping pembicaraan ketika kakak ku dan Papanya duduk berdua di halaman belakang. Sepertinya mereka menghabiskan waktu untuk bernostalgia di rumah ini seperti belasan tahun yang lalu.
"Ia kakak senang punya adik baru, tapi lebih senang dengan ayah yang lama...", kalimat yang terkahir ku dengar karena aku tidak ingin lagi menguping lebih lanjut. Kakak memang sopan dan menghormati ayahku. Sejauh ini kami hidup layaknya iklan program KB dengan dua anak sudah cukup,kecil namun bahagia. Namun, dibalik semua itu aku tau kakak masih belum bisa menerima kenyataan kalau formasi keluarganya harus berubah di saat usianya masih delapan tahun. Sekali waktu, aku pernah menanyakan kenapa Mama masih memajang foto masa lalu  keluarga kecilnya tepat di samping foto keluarga kami. Jawaban Mama waktu itu sempat mengejutkanku,"Permintaan kakakmu,biarkan saja". Sejak saat itu aku tidak pernah lagi menyinggung soal sejarah keluarga kami. Hingga akhirnya sekarang kakak lah yang memulai ceritanya.
"Kamu persis seperti papa..papanya kakak, penuh ambisi,semangat yang tiada matinya bahkan terkadang cenderung terbawa emosi..".
".....", tidak ada tanggapan dariku. Tidak ada perasaan tersinggung karena ucapan kakak yang menomorsatukan gen ayahnya ke dalam karakterku. Kakak benar, aku mamang begitu adanya.
"Dan kakak tau kamu sangat emosi bukan ketika harus menerima kenyataan di jodohkan dengan Fian di saat obsesimu hampir mendekati puncaknya sampai-sampai kamu tidak mencoba mengevaluasi undanganmu sendiri,hey..mana tau ada kesalahan penulisan didalamnya", bungkusan plastik berpita emas di buka perlahan. Kakak mengamati dengan seksama, aku tau sebenarnya pikirannya sama sekali tidak mencerna kata-kata didalamnya. Mungkin sekarang ia sudah jauh menerawang ke acara tiga hari kedepan. Bahkan ia lebih perhatian dari pada diriku sendiri yang justru jadi pemeran utamanya.
"Eropa memang cita-citaku dari dulu kak..aku berusaha keras mewujudkannya bahkan ketika masih duduk di sekolah dasar ketika pertama kali mengenal tujuh keajaiban dunia dan belajar apa itu peta dan seperti apa wujudnya Eropa", aku menghela nafas panjang. Rasanya akhir-akhir ini aku seperti pengidap asma akut yang susah sekali menghela nafas, sehingga apa-apa jadinya serasa begitu berat bahkan di momen yang paling ditunggu semua gadis di saat ia harus mengakhiri masa-masa berseminya.Pernikahan.
“Sudah dipersiapkan semuanya?”, pertanyaan khas yang seperti biasa kakak lontarkan saat aku akan meliput acara ke luar kota. Bulan lalu, aku mengajukan diri sebagai reporter VOA untuk Belanda dan hasilnya aku diterima,kedengarannya begitu easy going bukan hanya dalam waktu  dua hari aku sudah mendapatkan apa yang sebagian orang idam-idamkan. Meniti karir di negri kincir angin di usia muda melalui media berkelas internasional lagi. Tapi itu semua tidak semudah yang orang bayangkan. Tidak segampang ucapan gadis berambut pirang, maksudku rambut yang di cat kebarat-baratan yang aku jumpai di lift sehabis menerima pengumuman bahwa proposalku diterima.
“Hm…mungkin dia ada affair sama bos yang barusan mewawancarai kita,terang aja..cantik sih kalo boleh jujur”, oh ya…tanpa berbisik pun aku masih bisa mendengar dengan jelas. Hellooo…ini ruangan yang hanya selangkah ke kiri ke kanan ke depan dan kebelakang bagaimana dia bisa menggosip hal-hal yang tak jelas kebenarannya dibelakangku yang hanya berjarak satu langkah kaki saja. Ngomong-ngomong terima kasih untuk pujian jujurnya. Aku mengucapkannya secara tulus di dalam hati.
“Bisa jadi sih…sekarang pekerjaan bukan cuma soal skill doang..”, lelaki yang sepantaran dengan wanita si rambut pirang menyambar. Tanganku mengepal satu tinju kuat-kuat, yang berkamuflase seolah-olah aku menggenggam dokumen erat-erat takut kejatuhan. Ingin rasanya menampar langsung mulut-mulut tak bertanggung jawab, itu, apalagi lelaki yang disebelahnya yang tiba-tiba terlihat seperti ibu-ibu rumpi dikompleks rumahku.
“Mbak, untuk menjadi jurnalis sejati kita harus bisa memaparkan informasi yang sudah teruji keakuratanya bukan? Tidak hanya mungkin atau bisa jadi,bukan begitu mas?”, satu kalimat tanya sekaligus pernyataan dariku sebelum aku keluar dari lift. Ekspresi yang kudapatkan dari keduanya cukup memuaskan ku, sepasang mata yang mendelik dengan alis berkerut tak lupa bibir menganga membentuk huruf O sempurna tanpa sudut.Perfect! Mereka harus diberi teguran yang edukatif, pikirku. Orang-orang seperti mereka tidak tau saja bagaimana kegilaanku berusaha membawa media lokal bersama rekan-rekan seperjuangan lainnya sampai-sampai kami harus menjadi tawanan para tersangka yang sedang diliput karena tiba-tiba mereka memberontak dan melanggar kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya.
Kembali ke pertanyaan kakak barusan, aku hanya menoleh ke arah tumpukan barang-barang hasil memborbardir isi lemari semalaman. Semuanya ditumpuk di sudut kamar tanpa ada satupun yang tersusun rapi dan siap dimasukkan ke dalam koper.
“Kamu terlalu mengejar duniamu, nanti nyesel sendiri lho bisa-bisa seperti kakak nantinya..”, aku tak berani menatap mata kakak. Ah..begitu banyak cerita sedih darinya..mulai dari kehilangan papa nya yang ia anggap sebagai lelaki cinta pertamanya hingga Mas Dika yang pergi begitu saja lantaran mengejar gelar masternya ke negeri seberang. Jarak yang bahkan bisa ditempuh dalam waktu puluhan menit saja. Alasan kakak waktu itu ia tidak bisa meninggalkan pekerjaan yang baru memberikan posisi asisten manajer untuknya. Hubungan yang sudah berjalan lima tahun pun kandas setelah sempat terikat oleh cincin tunangan.
“Tapi ini beda kak..aku masih terlalu bocah untuk hal seserius ini, aku belum siap sama sekali..bahkan Fian juga ku rasa, dari minggu kemaren hingga saat ini sedetikpun dia tidak pernah menelponku bahkan untuk sekedar menanyakan apakah aku excited hingga hampir susah bernafas rasanya..”, sambil menendang kecil benda di hadapanku seperti biasa aku selalu menumpahkan kekesalan dan rasa emosiku pada kakak.
“Lha..kan kamu lagi dipingit Nad, gimana sih kamu ya mana bisalah…”
“BBM,whatsapp,line,telepon seluler bahkan e-mail juga gak ikut-ikutan dipingit kali kak..”,aku memotong pembicaraan kakak-ku, lagi-lagi dia hanya tersenyum seperti menghadapi balita yang sedang merajuk karena tidak dibelikan mainan baru.
“Percaya pada mama,ayah dan kakak kali ini saja Nad..Fian memang bukan lelaki sesempurna imam yang kamu impi-impikan tapi dia cukup sempurna untuk menutupi kekuranganmu dan membimbingmu. Dia lelaki yang berani mempertanggungjawabkan mu dihadapan Allah sekaligus di hadapan kami. Kakak tau kamu masih begitu menikmati masa mudamu, tapi ingat..masa muda itu usianya juga muda..jangan sampai sia-sia begitu saja hanya karena euforianya. Ayah, terlebih lagi mama. Mereka tidak mempunyai nyali kuat untuk melepasmu jauh ke negri orang tanpa ada yang menggantikannya sebagai pelindungmu seperti disini.Nad, perempuan itu…”
“Perempuan itu…seperti kaca..kalau sudah retak ya retak…mau sebagus apapun perekatnya pasti bekas retakannya terlihat..”, aku tersenyum jahil menyambung kalimat kakak selanjutnya. Wejangan yang selalu disampaikan ayah ketika kami menikmati suasana sore dihalaman belakang.
“Tuh sudah hapal di luar kepala, ya sudah nanti biar kakak bantu mempersiapakan keperluanmu kakak sudah minta perpanjangan cuti hmm… mana tau bisa ikut acara bulan madu mu sekalian melihat seperti apa tempat tinggal baru mu di Belanda sana kalau dibolehkan pengantinnya sih..”, kata-kata kakak barusan membuatku hampir menganga. Fian, calon suamiku sudah bisa dipastikan tak akan ada waktu untuk bulan madu semanis apapun itu berhubung dia akan langsung mengurus administrasi pendidikannya. Lelaki yang dua tahun lebih muda dari kakak. Teman sekelasnya semasa SMA dulu yang saking pintarnya hingga kelas akselerasi terasa seperti kelas biasa dan beasiswa prestius seperti Leiden Universiteit terdengar seperti ulangan harian saja yang belum sepenuhnya mengeksplor seluruh adrenalinnya akan akademis.
“Kakak beneran??Ya ampun kakak tentu saja…honeymoon ini milik kita berdua..!!!”, aku langsung menjerit kegirangan tanpa memperdulikan orang-orang di luar yang tengah sibuk menata rumah demi hari-ku nanti. Ayah yang tadi sempat mondar-mandir melirik kedalam, kalimat yang ia lontarkan  terasa begitu menggelikan di telingaku.
“Hush..pengantin gak boleh teriak-teriak seperti itu…”, reaksiku?tersenyum mengulum sambil memasang ekspresi seolah-olah mengatakan meskipun tiga hari lagi aku akan jadi pengantin toh aku masih putrid kecilnya ayah juga.
“Hihihi..kamu tuh ya belajar lebih bijak sekarang..gak harus sok kedawasa-dewasaan ntar cepat tua. Oya ini surat dari calon mempelai priamu tadi kakak nganterin tiket dan visa kesana trus dititipin ini sama calon mertuamu,hmm..spertinya e-mail nya Fian juga dipingit tuh. Cuma ini doank yang gak dipingit”, kakak mengangsurkan amplop surat kepadaku. Tanpa aba-aba menunggu kakak keluar kamar dulu aku langsung membuka dan membacanya, surat cinta pertama dan yang terkahir. Fian merupakan lelaki kesekian yang mendekatiku namun langsung didaulat ayah untuk memutuskan masa PDKT ke jenjang yang lebih mulia dan jelas. Ini kali pertama aku merasakan pipi ku bersemu merah melihat surat cinta dari calon imamku yang ternyata romantis juga. Aku pikir dia akan sibuk dengan proposal dan buku-buku bantalnya itu.
Teruntuk calon ma’mumku Nadhira Asla..
Sudah belajar apa saja untuk merawat imam mu nanti? Sudah bisa memasak rendang kesukaanku kah? Atau sudah bisa menjahit bahkan merajut syal untuk persiapan menghadapi musim dingin kita di Belanda nanti? Ibuku orang yang selalu cerewet soal itu, ibuku yang akan menjadi ibumu juga nantinya  sepertinya mulai khawatir anaknya tiba-tiba kehilangan berat satu ons hanya karena perkara perut hahaha. Orangtua mu pasti juga berpikir demikian, sekarang aku sedang berkutat dengan buku-buku ku seperti biasanya belajar bagaimana caranya agar ayahmu tidak lagi mengkhawatirkan putri kesayangannya tak akan kekurangan apapun nantinya hahaha.
Hmm..tak perlu terlalu banyak belajar memasak bahkan merajut syal untukku,nanti jarinya lecet dan tak bisa menulis berita lagi, pelajaran pertama yang harus dipelajari adalah belajarlah mulai dari sekarang memanggilku Mas jangan panggil Fian terus-terusan walau baby face begini kita terpaut enam tahun lho…

Calon imam mu 3 hari lagi
Alfian Latif
Aku melipat kembali surat singkat yang telah membuat pipiku bersemu merah. Untuk kali pertama sepanjang 22 tahun hidupku aku merasa jatuh cinta itu begitu indah, begitu indah jika dijatuhkan ke mahligai pernikahan. Kakak yang sedari tadi menyapu setiap sudut wajahku yang  berusaha menahan senyum malu-malu seolah menunggu jawaban dari ku segera. Jawaban yang sudah bisa dibaca sebenarnya, hanya saja kakak tipe orang yang memastikan sesuatu secara pasti, tak cukup hanya dengan pengamatan belaka.
“Sepertinya aku salah menilai orang, calon suami sendiri lagi..”, aku tertunduk setengah malu setengah senang. Malu betapa aku mengharapkan Alfian bertingkah seperti romeo ternyata ia lebih indah dari sekedar romeo di mataku.
“Yah namanya kamu juga bocah tamat SMA tahun kemaren..”, kakak menjawil pipi ku mencoba menggoda. Ayah yang dari tadi sibuk mondar-mondir di depan kamar sambil menunjuk sana dan sini mengatur susunan rumah untuk tiga hari kedepan menghampiri kami. Aku tau ada rasa gelisah dan ragu yang tergurat di wajah tuanya. Tiga hari lagi ayah harus berbagi kasih sayang  dengan lelaki lain.
“Tapi tetap saja ia tak akan mengalahkan cinta pertamaku kak..”, aku segera berlari kecil menghampiri ayah yang berdiri di pintu kamar. Aku menggamit tangan ayah dan mendaratkan kecupan kecil di pipi kanannya.
“Ayah..terima kasih telah menjadi lelaki cinta pertama Nadhira..”, ayah mengusap kepala ku pelan. Sepasang bola mata yang selalu menjadi tempat ku mengadu itu terlihat membayang berkaca. Aku manatap ayah seolah tidak akan bertemu lagi. Ya...tiga hari lagi..tiga hari dari sekarang..”Tidak akan ada yang berubah Nadhira…bahkan yang ada semuanya akan bertambah..semua yang kau punya..bersykurlah”, kalimat itu terdengar semakin bergema ya..tiga hari lagi akan ada ayah baru lagi..ayah untuk anak-anak ku kelak.