Jumat, 29 Januari 2016

                                         KUPU-KUPU TAKDIR       



Kita menggenggam asa untuk dinikmati bersama
Kita menyiraminya dengan tawa,canda,suka dan duka
Terkadang darah ikut membasuhnya
Tatkala keringat malas mengucur deras


Kuat..kuat..sabar..sabar
Bosankah kita mendengarnya?
Nyatanya itu adalah kulit pelapis tulang kita
Tak ada daging kawan...serat itu terlalu mahal untuk kita punya


Wanita macam mana yang tak akan menangis
Bahkan lelaki pun akan meraung melihat kita
Betapa kita begitu kuat merapal do'a
Karena konon katanya hanya do'a yang mampu mengubah takdir


Kawan...
Kita
Asa
Doa dan mereka
Hanya menunggu waktu untuk menjadi kupu-kupu

Kamis, 14 Januari 2016




                                   Malaikat Kecil di Sudut Bumi



Sabtu di penghujung tahun 2014
“Mama…kenapa masih belum mau membawa ku pulang kerumah? Aku sudah berkelakuan baik semenjak masuk sekolah bahkan aku sudah mendapatkan juara dua untuk semester ini. Aku janji lomba melukis nanti aku yang akan jadi pertama. Mama pasti  lebih suka piala yang lebih tinggi bukan…”
Rentetan kalimat dari mulut mungil bocah awal tujuh tahunan yang menikam  nurani tanpa ampun.
Kata – kata yang dalam hitungan detik membuat buliran air mata hampir berjatuhan . Pikiranku nanar, kosong, bahkan aku merasa jijik pada diriku sendiri. Benarkah itu aku? Lalu, bocah  di depanku ini siapa?
Wajah polos yang masih menunggu jawaban. Bibir bawahnya ia gigit-gigit sedari tadi mencoba menahan kata-kata selanjutnya. Aku tau ia akan mengatakan “ Mama maaf, lain kali saja aku ikut dengan Mama pulang kerumah “ atau “ Aku disini saja, lebih menyenangkan” seperti biasanya. Bocah itu, melangkah pelan menuju daun pintu dimana aku berdiri mematung, menggamit jemari tanganku yang polos tanpa satu cincin pun melingkar. Kepalanya ditundukkan menunjukkan betapa ia menyesal telah mengucapkannya. Bunyi  lonceng bel dari jam analog ruang tengah berdentang keras  menunjukkan tepat pukul 12.00 siang sekaligus menghentakkan ku pada kenyataan yang di hadapanku saat ini. Bocah itu butuh jawaban pasti sekarang bukan sekedar bujuk rayu bahwa Sailor Moon pasti akan mengalahkan kejahatan karena ia punya kekuatan bulan. Bujukan bodoh yang sudah kadaluarsa dan tak akan mempan lagi. Aku menarik nafas dalam-dalam mencoba menghentikan laju tetesan air yang sudah mencapai pelupuk mata. Aku merendahkan badan dan menyentuh dagu mungilnya, kutatap dalam-dalam bola mata yang harap-harap cemas menunggu reaksiku.
“Ayo...kemaskan barang-barangmu sekarang karena kita akan pulang ke rumah hari ini juga..”, antara percaya dan tidak percaya aku sudah mengucapkannya. Kalian tentu tahu bahwa memori anak kecil lebih kuat dan lebih bersih dari pada kita. Tak mungkin aku mencabut kata-kata itu lagi atau bahkan dengan kejam nya mengatakan aku salah bicara. Tidak. Tidak akan. Pelukan spontan tanda kegirangan begitu erat  mencengkram. Pelukan itu  semakin menguatkan tekadku yang tanpa persiapan sekalipun. Aku adalah orang yang memegang prinsip bagaimana nanti nya saja. Tapi kali ini..ah entahlah…mungkin benar kita lihat nantinya saja seperti apa.
“ Mama…terima kasih…aku sayang mama..sangat..sangat..sayang…”, baiklah jebol sudah pertahananku sekarang. Buliran air yang sudah bertengger dipelupuk mata jatuh satu persatu hingga begitu deras membanjiri pipiku bahkan hampir membasahi pundak si bocah yang masih erat memelukku seolah takut kehilangan. Pekerjan paling berat saat ini adalah menahan isak tangisku agar tidak terdengar jelas.
Ya Tuhan..bagaimana mungkin aku setega ini kepadanya. Aku seorang ibu dan tidak seharusnya aku seperti  ini. Persetan dengan omongan orang nanti. Aku sudah membuka pintu yang selama ini tertutup rapat dan kakipun sudah terlanjur melangkah keluar meski baru selangkah. Oke aku kuat, aku bisa, aku pasti mampu.
Tatapan Bunda yang menatap kami penuh haru semakin meyakinkanku untuk melangkah maju. Bunda juga tau aku pasti bisa.


Januari kelabu, tujuh tahun yang lalu…

Aku benci hari ini, sangat-sangat benci  rasanya semua orang seperti memusuhiku bersamaan. Ini adalah hari paling buruk yang pernah aku alami. Telat berkali-kali seperti biasa namun kali ini luar biasa karena hari ini adalah hari pertama ujian ku di bangku perkuliahan.  Kebiasaan buruk semasa SMA yang masih terpelihara dengan baik dan Mama yang sudah mulai enggan membangunkanku pagi-pagi dengan alasan aku ini  adalah seorang mahasisiwi sekarang. Ah..andai Mama tau kalau title itu tidak memberikan efek kedewasaan pada kepribadianku sekarang ini.
“Saras dimana? Gue udah di perpus…”
Satu pesan singkat mengingatkanku kalau masih ada cobaan lain lagi setelah ujian Pengantar Akuntansi yang begitu menguras pikiran. Makalah hukum bisnis yang harus dikumpulkan sebelum ujian berakhir belum tersentuh sama sekali bahkan sekedar cover pun belum.
Dengan langkah gontai kedua kaki ku seperti sudah diintruksi untuk tidak melangkah ke lain tempat lagi selain perpustakaan. Dua orang mahasiswi yang ku kenali sebagai aktivis kampus menyambutku dengan selebaran warna-warni di depan pintu perpustakaan. Dengan senyuman kecil selebaran itu pun sudah berpindah tangan yang langsung kuterima dan kulipat kecil tanpa menghiraukan isinya.
“Saras!”, Kemal teman paling setia yang mengerti betapa miserable nya aku ketika lupa akan tugas kuliah dan lalai akan kedisiplinan waktu.
“Huffs…kayaknya gue mau  ngulang SNMPTN lagi deh taun depan mal..”, aku langsung mengoceh begitu mendapatkan sebuah bangku kosong disebelah Kemal. Ia yang selalu asyik dengan buku-buku bantal nya melirikku dengan senyuman yang tidak simetris sama sekali. 3 cm ke kiri dan 0,5 mm ke kanan.
Pardon me??? Trus begitu lo ngulang SNMPTN lagi dan lolos dan menghadapi masalah seperti ini lagi lo mau ngulang lagi sampe SNMPTN berubah nama jadi UMBPTN lagi gitu?”, ah..Kemal selalu saja begitu, memberikan support agar tidak menyerah begitu saja dengan lelucon sekaligus sindiran.
“Hmm..welll…gitu aja terus sampai..”, aku menghela nafas dengan berat.
“Sampai ladang gandum di hujani meteor coklat dan jadilah choco crunch!”,
“Ha..ha..ha…”, kami kompak terwata bersamaan tepat setelah Kemal menyambung slogan andalan kami yang baru saja dipatenkan. Ya..itu semcam peribahasa untuk mission impossible yang telah kami patenkan bersama.
“Lo udah selesai merangkum bantal?diktein donk!, aku melirik kitab-kitab suci berbau ekonomi yang sedang digarap Kemal.
“Saras, gue kan udah pernah bilang ke elo kita bisa kalau kita yakin lo itu bisa hanya saja lo suka membatasi kemampuan lo sendiri”, oke..ini akan berlanjut seperti sinetron 1000 episode seperti biasa. Cukup menyimak dan jadi pendengar yang baik.
“Hmm..tapi gue sibuk Mal akhir-akhir ini belum lagi kursus ina ini ita itu”, sedikit berargumen tidak apa-apa lah setidaknya aku mencoba memberi  feed back pertanda aku adalah pendengar yang baik.
“Sibuk?semua itu bisa dikerjai berbarengan kali Ras..
“Tapi gue gak bisaaaa, gue gak bisa multi tasking”, well kali ini aku sedikit membelot dari cap pendengar yang baik.
“ Dan ini apa?”, Kemal langsung menarik selebaran warna-warni yang telah bermetamorfosa menjadi origami bangau.
“Lo itu kebanyakan ngeluh dan gak mau fighting itu aja!”, si bangau kertas tadi akhirnya kembali ke bentuk semula nya. Aku tidak menggubris lagi kalimat Kemal yang terakhir karena bisa-bisa akan berujung pada debat panas ala-ala politikus yang seperti biasa ku lihat di layar tv.
“Eh lo udah milih organisasi yang sesuai minat lo gak?, Kemal mulai bersuara.
“Minat gue?ada sih tapi lo tau sendiri nyokap gue udah ngedesign schedule yang begitu apik untuk anak semata wayangnya ini dan sialnya lagi begitu gue ngadu ke bokap malah dikasih wejangan dan ujung-ujungnya ya…” aku menggantung kalimat akhirku sesaat. Hmm..kalau sudah berbicara soal orangtua aku merasa terjebak dalam tampilan keluarga urban yang jauh dari cerita Keluarga Cemara tontonan semasa kecilku.
“Gue berasa seperti boneka Mal, apa gue balik ke Sumatera aja kali ya tinggal ama Nenek..”, kalimat penutup yang merupakan harapan terakhirku tapi tidak pernah terwujud sama sekali.
“ Well, kalau lo belum mutusin mau ikut yang mana gimana kalo besok sore ikut gue aja siapa tau yang ini cocok buat lo”, Kemal tidak menggubris cerita sendu ku yang sudah bukan rahasia lagi baginya.
“ Emang mau kemana sih?”
“ Ke tempat yang lo bisa menemukan alasan kenapa lo mesti fighting dan survive dari sekarang..”,
Baiklah, sepertinya ini menarik. Sebenarnya ada sisi lain dari Kemal yang belum aku ketahui secara keseluruhan. Aku mengenalnya baru empat bulan semenjak awal masuk kuliah karena dia teman satu gugus ku ketika masa Ospek . Sesekali aku ingin menanyakan beberapa hal yang sifatnya privasi dan kegiatan misteriusnya  di luar kampus hanya saja sering tercekat di tenggorokan. Ya..hal-hal  seperti itu tidak ubahnya seperti tak melihat gajah di pelupuk mata. Aku dan kisahku jauh lebih kacau dan bagaimana mungkin aku berani menanyakannya.
“ Oke deh gue ikut tapi jemput gue besok ya”
“Jemput?”, satu kata tanya diiringi dahi berkerut dari Kemal.
“Gue mau nginap di rumah Bokap malam ini”, aku menjawab sambil mengalihkan pandangan.
“Oke deh Saraswati besok gue jemput lo, we’ll find that reason tomorrow..”, aku hanya membalas kalimat terakhir Kemal dengan senyuman tulus sebelum mengambil ancang-ancang untuk segera pergi.
“Hmm Kemal…bisa anterin gue ke pengadilan agama yang deket kantor walikota gak?Ini sidang terakhir nyokap sama bokap saking excited nya gue sampe lupa minta uang saku…”.  Ini sedikit gila atau memang sudah gila tetap berusaha melucu walaupun mata sudah berkaca-kaca. Saras..kamu begitu terlihat menyedihkan sekarang dan Kemal? ah…dia begitu baik untuk ukuran teman empat bulanku.

Januari yang mulai cerah 3 tahun yang lalu 

“Cieee..cantik banget sih Ras..”, Kemal menggoda nakal melihat penampilan ku yang benar-benar berbeda dari hari-hari biasa. Long dress putih gading semata kaki,high heels lima senti punya Mama yang kupinjam diam-diam dari lemari penyimpanan koleksi sepatunya serta rambut yang digerai menawan hasil nge-blow satu jam lebih. Oya, satu lagi! make up yang sudah melekat sempurna di setiap sudut wajahku. Perfect! Tiba-tiba aku merasa bak  Cinderella semalam.
“ Ya donk…kan hari special  masa gue pake baju ombrengan kaya biasa ntar Fatih malu lagi”, pelan aku berjalan menuju Kemal yang sudah siap dengam motor Satria kebanggannya. Kalau boleh memuji, penampilannya tak kalah mempesona mata .
“Kenapa bengong begitu? Lo pangling liat gue pake dasi kupu-kupu? Cakep ya?”, uhuk..hampir saja aku akan melontarkan pujian tapi ya sudahlah tidak ada gunanya melihat reaksinya barusan.
“Cakepan Fatih kali dibandingin lo, yuk ah berangkat sebelum keburu malem,inget lo bawa Cinderella lho gak boleh pulang sebelum jam 12 malem!”, aku menunjuk-nunjuk wajah Kemal seperti seorang guru yang mengajarkan anak muridnya membaca.
“Siap Cinderella yang baik hatinya gue pastikan  gaun lo gak akan berubah jadi celemeknya upik abu dan motor gue gak akan jadi labu”, aku benar-benar merasa seperti Cinderella hari ini apalagi akan ada seorang pangeran tampan yang sudah menunggu kedatangan ku. Hmm..tak sabar rasanya.

18.40 WIB di kediaman yang aku dan Kemal biasa sebut little palace

Kurcaci-kurcaci itu berlari berhamburan ketika mendengar suara motor Kemal yang baru saja memasuki halaman depan. Wajah-wajah mereka begitu mebuat tangan ku gatal untuk mencubit pipi mereka satu-satu.
“Wah..Kak Saras cantik sekali aku mau jadi pacarnya kak Saras donk”, Rasya bocah yang baru saja naik kelas 5 SD memandangku dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan mulut menganga. Sumpah, ini baru pertama kali aku merasa tersanjung sekaligus ingin tertawa terbahak-bahak.
“Kak Kemal juga ganteng banget hari ini,dasi kupu-kupu nya lucu ih”, ini suara cemprengnya Tania yang semakin hari semakin centil saja semenjak memasuki taman kanak-kanak. Kemal melirik ku sambil menahan senyum dan tetap berusaha terlihat cool seperti biasa.
“Ike! Fatih udah siap?”, aku melambaikan tangan sambil berteriak begitu Ike muncul dari dalam rumah.
Usianya terpaut delapan tahun lebih muda dariku.
“ Sudah kak, dari tadi uring-uringan terus tuh nanyain kakak..oya kak,kue ama kado-kadonya ada di kamarnya Ike abisnya gak muat kalo ditaro semua dimeja kan sempit trus lilinnya juga udah dipasang. Fatih lagi nonton di ruang tengah tuh sama Bunda”, Ike memberikan laporan kondisi terkini tepat sesuai instruksi dari ku tadi siang.
“Ras, lo beli apaan?”, Kemal menatapku heran.
“Gue mindahin isi kantong doraemon kesini emang kenapa?”aku menjawab asal.
“Lo ngerengek ama bokap lo lagi?”, Kemal masih saja bertanya.
“Mal, lo tau gak sih ternyata kasih ayah juga sepanjang jalan”, aku masih menjawab asal atau mungkin yang satu ini benar.
“ Hey kalian malah asyik berdiri di luar ayo cepetan masuk sebelum ketauan Fatih lho”, Mbak Tini juru masak little palace ini membuyarkan perdebatan kecilku dengan Kemal.
“Ike, kakak masuk dari pintu belakang saja nanti kakak ke kamar kamu dulu ngambil kuenya kamu ama Kak Kemal tolong bantu ngatur kondisi ya biar surprise nya sempurna”, aku langsung memberi titah. Kemal yang sudah mengerti berhenti mengajukan pertanyaan –pertanyaan yang sudah bisa kuterka. Aku pun segera mengambil peranku. Merasakan aura malam ini hampir membuat jangtungku berhenti berdetak.
Kemal, teman empat bulanku dua tahun yang lalu tak disangka mampu memberikan matahari di tengah kelabunya hari-hari yang kujalani sebelumnya. Kuakui, dia berhasil bahkan sukses memberikanku alasan kenapa aku harus kuat dan tegar meskipun aku seorang perempuan sekalipun. Tidak gampang memang, sembunyi-sembunyi dari Mama dan sempat ketahuan berkali-kali lantaran Mama bilang aku sudah melewati batas kegiatan yang Mama anggap kegiatan sosial belaka. Beda dengan Papa, dia bahkan menyokongku dengan semua kemampuan yang ia miliki. Meskipun aku tau Mama lebih sejahtera dibandingkan Papa tapi toh aku putri tunggalnya dan hingga sidang cerai hari itu Papa masih betah menduda katanya sih biar duit Papa habisnya buat aku saja. Aku langsung menghambur ke pelukan Papa saat itu juga, terserah jikalau ada yang menilai karena alasan material atau bukan karena yang penting aku senang, sangat senang dengan alasan tersebut.
“Yah..lilin nya keburu meleleh duluan deh”, aku berbicara pada diriku sendiri. Lilin berbentuk angka empat itu sekarang cenderung terlihat seperti huruf “C”  terbalik. Dasar pelupa, aku alfa mengingatkan Ike untuk tidak menyalakan lilinya dulu sebelum aku datang. Sudah tahu Ike orang yang saking rajinnya akan menyiapkan payung bahkan ketika  hari masih cerah sekalipun.
“Ras, lama amat sih itu Fatih bentar lagi meledak lho!”, suara bass Kemal hampir saja mengagetkanku.
“Liat nih..”, aku merajuk sambil memonyongkan bibir menunjuk lilin yang aku ratapi sedari tadi.
“Ya elah Ras Cuma lilin doank..”, Kemal memasang muka paling butek.
“Tapi..
“Ah elu kalo kaya gini terus gak jadi surprise nya nih..
“Bentar..sebentar..,” aku masih berusaha memperbaiki lilin malang yang rasanya seperti merubah itik buruk rupa hingga berubah menjadi angsa nan menawan saja. Hahh..Kemal benar, keribetanku malah membuat aku yang surprise sendiri dalam arti sebenarnya.  Telingaku menangkap suara derap langkah kaki. Langkah itu dalam hitungan detik terdengar semakin kencang menuju kamar ini. Aku menghitung mundur, kedua tangan ku segera mengangkat kue tart tanpa menghiraukan lagi bentuk lilinnya yang semakin aneh saja. Oke, satu..dua..tiga..
“SELAMAT ULANG TAHUN FATIH SAYANG…!!!”
 Binggo!!! Perhitunganku tepat sekali. Begitu langkah kakinya sejajar dengan ambang pintu dan pendar matanya menangkap sosok ku  maka aku sudah siap dengan pose terbaik ku. Malahan Kemal yang terlihat seperti orang linglung begitu mendapati sosok yang harusnya mendapatkan surprise lebih dulu telah berada dua langkah di depannya. Tapi aku menikmati atmosfir yang tercipta sejenak. Tatapan penuh cinta, harap dan perasaan bahagia yang tiada tara. Kedua tangannya membekap mulutnya sendiri berusaha menahan teriakan yang keluar. Bola matanya yang paling aku sukai yang sekarang terlihat hampir meloncat keluar.
“Maamaaaaaa….!!!!”, bekapan tangannya akhirnya terlepas dan langsung memeluk ku erat. Semakin ia erat memeluk semakin susah aku menahan kendali emosi yang semakin memuncak.
“Saras awas…kue nya…!!!”
“Aaaarrrghhhh!!!”, shit aku mengumpat kesal. Sekarang gaun putih gading ku sudah bermotif aneka warna. Sungguh semarak.


Satu hari setelah Januari Kelabu lima tahun yang lalu

“ Jadi lo sering kesini ya setiap perkuliahan selesai..”, aku mengamati rumah kuno peninggalan Belanda yang tertata apik. Ada belasan kamar di dalamnya sepertinya baru saja dikonstruksi ulang.
“ Hai kak Kemal..”, bocah yang masih memakai seragam merah putih itu menyapa Kemal dengan hangat seolah sudah kenal lama. Di belakangnya terlihat bocah perempuan mengekor dengan tatapan malu-malu.
“Hai Ike, ujiannya udah selesai? Gimana susah gak?”
“Hmm awalnya aku pikir susah ternyata setelah ingat tips berhitung cepat dari Kak Kemal 30 menit mah beres”

“Nah gitu donk..itu baru namanya adek kakak”, Kemal mengusap pelan kepala bocah bernama Ike. Aku yang sedari tadi menjadi penonton hanya menunggingkan senyum kecil ketika si bocah berseragam merah putih itu melihat ku  lalu melirik Kemal lagi.
“Oh ya, ini temen Kakak kenalin namanya Kak Saras”, tanpa diinstruksi lagi aku langsung menjulurkan tangan kananku mengajak si bocah berjabat tangan.
“ Hai Kakak… tumben kak Kemal bawa temen?,” Ike menjabat tangan ku sambil terus bertanya.
“Hai Ike”, aku membalas jabat tangannya mata ku pun kembali melirik Kemal menunggu jawabannya atas pertanyaan Ike barusan. Bocah perempuan yang mengekor dari belakang itu semakin erat memegang rok Ike ketika sudut mataku mencuri pandang pada wajah lugunya.
“Iya nih, soalnya kemaren ada yang cerewet minta Kakak perempuan biar ada yang ngajarin dandan katanya”, mendengar jawaban Kemal aku langsung mendelikkan mata.Mengajarkan dandan?what? aku memang tidak pernah lupa berkaca tapi kurasa kaca mata Kemal yang perlu diperiksa ulang.
“Eh Tania..sini sayang sama Kakak. Tania mau kenalan sama Kas Saras juga ya?”, ragu-ragu tangan nya menggamit tangan Kemal dan menatapku malu-malu.
“Oya Kak Kemal sudah tau belum kita punya adik baru lagi?”, Ike menatap Kemal seolah ingin mencuri tahu sejauh mana Kemal mengenali tempat ini.
“Tau donk ini Kakak bawain hmm apa ya namanya pokoknya buat balita yang baru belajar jalan biar gak lecet ntar lutut nya”, Kemal mengeluarkan sebuah bungkusan berukuran sedang dari ranselnya.
“Lho Kak Kemal kok tau? Adeknya kan datang baru tiga hari kemaren nah Kakak aja udah seminggu gak kesini sampai lupa pesanan aku”, Ike mengerutkan bibir mungilnya. Aku baru menyadari maksud percakapan ini ternyata sebgai bentuk protes akan absen nya Kemal ternyata.
“Kakak kan ujian Ike…jadi harus belajar ekstra biar nilainya bagus oya ini pesanan kamu gak mungkin donk Kakak lupa”, seperangkat alat tulis bertemakan Little Mermaid berpindah tangan seketika. Wajah yang terlihat mendung tiba-tiba cerah seketika.
“Ras yuk kebelakang ada yang mau gue kenalin lagi sama lo”, Kemal menarik pandanganku dari wajah ceria Ike yang sibuk membongkar isi kotak pensil yang hanya segenggaman tangan.
Sayup-sayup aku  mendengar alunan lagu pengantar tidur yang mampu membius imajinasiku seketika. Lagu yang sering Mama andalkan untuk melelapkanku di kala malam sudah datang menyuruh istirahat barang sejenak.
“Ssst…”, Kemal member isyarat kepadaku untuk tidak membuat suara gaduh sambil berusaha pelan membuka pintu tua yang berdenyit pertanda usia. Seorang wanita yang kuperkirakan berusia sepantaran Mama tersenyum sambil mengibas-ngibaskan kipas ke arah bocah dipangkuannya.
“Sudah selesai ujiannya nak?”
“Sudah Bun”, Kemal segera menghampiri wanita tersebut lalu menyalaminya. Ia melirik ke arahku yang masih terlihat canggung.
“Saras kenalin,ini Bunda”, seperti layaknya perkenalanku dengan Ike barusan. Aku segera menyalaminya tanpa ragu. Senyuman tulus yang meneduhkan itu tak perlu dicurigai lagi keabsahannya.
“O..jadi ini yang namanya Saras toh”, si Bunda mengangguk pelan seakan sudah mengenalku lama.
“Iya Bunda…”, aku hanya mencoba mengiyakan saja.
“Bunda ini ibu kandung gue dan dua bocah didepan tadi adik-adik gue nah yang dipangkuan bunda sekarang adik baru gue”, tanpa disuruh Kemal menjelaskan dengan singkat mencoba memecahkan pertanyaan-pertanyaan yang ada sudah bertebaran di dalam pikiranku.
“Hmm..adik kandung lo juga?”
“Hmm gimana ya Bun? Mereka lahir dari rahimnya Bunda juga kan?”, Kemal melirik Bunda seperti meminta dukungan atas penjelasannya.
“Ia..mereka lahir dari rahimnya Bunda juga, dari rasa sayangnya Bunda tentunya”, ada perasaan teriris begitu mendengar penjelasan mereka. Sesuatu yang mulai hilang dari genggamanku sejak beberapa bulan yang lalu.
“Kamu mau coba gendong ?”, Bunda melirik ke arah ku.
“Boleh?”
“Kenapa tidak, sini Bunda ajarkan bagaimana caranya menggendong bayi”, Bunda mengarahkan tanganku agar pas dalam menggendong  bayi. Mendapat arahan seperti ini rasanya seperti menjadi ibu sungguhan saja.
“Nah, iya begitu..tuh kamu sudah pas tangannya”, begitu si bayi mungil itu sudah berada di dalam dekapanku aku langsung liar menjelajahi setiap sudut wajahnya. Matanya yang bulat sempurna seolah menyiratkan betapa sucinya sinar kehidupan yang ia miliki. Matanya mengedip pelan seolah kebingungan melihat tingkah polahku yang senyum-senyum sendiri.
“Namanya Fatih umurnya satu taun dua bulan, sudah mulai belajar berbicara tapi agak sedikit lambat dalam motorik”, aku memperhatikan kasa putih yang melilit kedua lututnya.
“Kita nemuin dia depan rumah dalam tas berisi banyak barang. Benda-benda bayi sih tepatnya tapi beberapa benda tersebut menindih bagian kakinya. Kata dokter mungkin terlalu lama ditindih benda yang lumayan berat untuk seukuran dia jadi ada cidera gitu. Tapi dia ini gigih banget lho Ras buat belajar jalan, nih buktinya udah diperban lagi padahal baru seminggu kemaren lepas perban”, mataku menangkap sepasang kaki yang masih menendang-nendang bebas di udara meskipun berbalut perban. Andai aku sekuat dia, sekuat bayi mungil didepanku ini. Oh Tuhan kenapa aku begitu lemah.
                                                                                           
Sejak saat itu hampir tiap hari aku menghabiskan waktuku disini. Ini rumah ketigaku tepatnya setelah setiap hari pulang kerumah Mama dan weekend di rumah Papa tapi tetap tak pernah lupa aku singgah kesini walaupun hanya sekedar menyapa. Bagiku ini bukan panti asuhan yang sebagian orang beranggapan sebagai tempat dimana mereka bisa “membuang” amanah yang belum siap mereka emban. Bagiku ini adalah panti kebahagiaan dimana orang-orang yang mata hatinya tertutup tidak sadar kalau mereka telah membuang kebahagiaan terbesar dari kehidupan mereka. Fatih…entah mengapa sejak awal mengenal sosok kecil itu aku seperti menemukan kebahagiaan tersendiri yang tidak aku temukan di rumah sendiri.
“Fatih sayaaaangg…”, aku berlari begitu memasuki daun pintu panti kebahagiaan Ar-Rahman ini. Hampir tiga bulan sudah aku absen kesini karena program Magang dari kampus yang menempatkanku di Cirebon ditambah kegiatan yang menyita waktu diluar magang membuatku tak bisa kembali ke Jakarta walau sebentar saja.
“Hai…kamu bingung ya..”, aku melihat gelagat Fatih yang tampak ragu-ragu melangkahkan kakinya.
“Ayo sini digendong”, baiklah sepertinya memang aku yang harus mendekatinya. Fatih bukanlah tipe anak yang terlalu aktif dan cepat bersosialisasi dengan orang baru. Ah lucunya, dia tidak menolak dan tidak juga terlalu bersemangat ketika kugendong. Matanya menyusuri setiap sudut wajahku dan keningnya berkerut masih dalam keraguan. Tangan mungilnya memegang wajahku seperti mengingat-ingat sosok yang sempat hilang dari pandangannya.
“Mhhhh…”, ia mulai bergumam seolah memberitahuku sepertinya ia sudah ingat siapa sosok yang tengah asik menggendongnya sekarang.
“Iya…Fatih mau ngomong apa sayang?”, aku membelai rambutnya yang semakin tebal saja.
“Mha….”,
“Mmhhaa”, hampir saja Fatih jatuh dari pangkuanku. Tanganku seperti kehilangan kekuatannya. Apa aku tidak salah dengar? Mungkin ini hanya reaksi atau gumaman asal-asalan saja karena kudengar kabar dari Bunda Fatih sudah mulai mengeja kata-kata bahkan kalimat.
“Mhaaaaa!,” kali ini teriakannya makin kencang kedua tangannya erat mencengkram pundakku. Tangisannya pecah seketika seolah takut ditinggal pergi. Ini bukanlah situasi yang bisa aku cerna dengan akal pikiran sehatku. Spontan, tiba-tiba saja air mataku pecah seketika. Aku tau arti cengkraman kuat tangan kecilnya dipundakku. Cengkaraman takut kehilangan, jangan pergi dan jangan tinggalkan aku. Belasan tahun lalu aku memeluk kuat kaki Papa yang bersiap keluar dari rumah setelah bertengkar hebat untuk pertama kalinya dengan Mama. Aku mencengkram kaki Papa kuat-kuat hingga telapak tanganku kebas rasanya. Sejak saat itu hubungan Papa dan Mama tidak lagi seindah masa kecilku. Aku tau mereka tidak lagi saling sayang apalagi saling cinta tapi aku juga tau mereka sangat menyayangi dan mencintai aku yang teramat takut ditinggal. Aku adalah anak tunggal mereka yang manja dan egois. Aku tidak mau ditinggal, bagaimanapun aku tidak akan membiarkan salah satu dari mereka meninggalkanku begitu saja. Tidak peduli perasaan mereka, aku mau keluarga yang utuh seperti keluarga cemara.
“Sssstt….Mama disini, mama gak akan ninggalin kamu..”, pelan aku mengusap pundaknya mencoba menenangkan. Entah ia mengerti atau tidak namun ajaibnya kalimat yang aku ulang-ulangi itu mampu membuat Fatih diam dan berhenti menangis hanya isakan kecilnya yang terdengar mulai mereda.
“Jangan nangis lagi, Mama disini..everything is ok..semuanya baik-baik saja sayang..”, kalimat paling ampuh yang Mama gunakan untuk menarik cengkraman tanganku dikaki Papa ternyata juga ampuh untuk menenangkan Fatih. Ahh…aku harus rajin dan harus punya masa depan yang jelas dari sekarang. Akan ada jiwa dan raga yang akan jadi tanggung jawabku mulai detik ini.


Awal Desember  2014,
  
“Kamu yakin?”, Papa kembali bertanya kepadaku untuk keseribu kalinya.
“Untuk keseribu kalinya sangat..sangat yakin Pa. Fatih sudah mulai besar sekarang dan aku mau setiap dokumen tentang dia atas namaku. Aku akan mengurus keperluan administrasinya lusa nanti katanya pengadilan butuh waktu dan akan melakukan peninjauan apakah aku layak atau tidak”, aku menatap sepasang bola mata yang sudah tampak menua itu dalam-dalam. Mencoba menerobos lebih dalam lagi apa yang ada dibenak hati Papa.
“ Mamamu bagaimana? Bukankah ia masih tidak setuju kalau kamu mengadopsi Fatih apalagi kamu belum menikah Ras. Tanggung jawab terhadap anak itu tidak seperti kamu memelihara si Putih kucingmu itu yang dikasih makan lalu dibiarkan saja”, lagi-lagi Papa membantah argumenku.
“Pa..Saras memang belum menikah dan memang Fatih tidak terlahir dari rahim Saras, tapi ia lahir dari kasih sayang Saras yang sudah lebih lima tahun ini menemani Saras. Lagian siapa bilang si Putih Cuma dikasih makan doank terus dibiarin. Saban hari si Putih itu minta dibelai terus karena dia tau Saras care dan sayang sama dia”, kali ini nada ku sedikit  sewot. Aku orang yang tidak suka jika keinginanku dibantah oleh orang terdekatku apalagi Papa. Selain itu kurasa itu semua tidak bisa dijadikan parameter mutlak apa aku pantas atau tidak.
“ Dasar keras kepala…ini nih yang mau jadi ibu”, Papa menyubit pipi ku pelan. Aku langsung bersandar manja dipundak Papa.
“Kalau ada apa-apa kamu kasih tau Papa. Sekolah anak sekarang mahal belum biaya ini itu..”
“Pa..aku udah mempersiapkan ini semua dari dulu”, aku mengangsurkan buku tabunganku ke tangan Papa. Semua angka yang tertera didalam memang bukan hasil jerih payahku seratus persen. Sebagiannya adalah uang dari Papa yang sering ditransfer kepadaku setelah Papa dan Mama bercerai. Semenjak mengenal Fatih dan berniat untuk mengadopsinya sebagai anak, aku mulai belajar untuk tidak berfoya-foya dan disiplin terhadap finansial sendiri.
“Anak Papa ternyata memang susdah dewasa sekarang…”, kini mata yang sudah menua itu tampak berkaca-kaca.
“ Papanya Saras ternyata sudah tua sekarang …sebentar lagi mau punya cucu”, aku memegang erat tangan Papa. Mencengkramnya kuat-kuat namun tak lagi menghalanginya pergi. Aku sadar sekarang Papa tidak akan pernah pergi meninggalkanku sendirian meski pun kita bertiga tak lagi dinaungi oleh atap yang sama. Awal tahun ini juga aku akan memulai lembaran baruku bersama Fatih. Segala resiko termasuk reaksi Mama yang tak terbayangkan sudah kupikirkan sejak Fatih pertama kali memanggilku sebagai Mama.
Drrtt..drrt…
“Saras, ini saya Niko. Akhir bulan ini ibuku ingin mengundangmu dan Bu Wina untuk makan malam dirumah. Bisakan?”. Satu pesan singkat dari Alviano Nikola. Partner bisnis Mama yang baru satu minggu ini getol mendekatiku. Tentu saja  ini juga tak lepas dari campur tangan Mama yang sangat memnginginkanku segera menikah mengingat aku telah bekerja meskipun baru dua tahun lamanya.
“Mama selalu punya sejuta ide agar aku membatalkan niatku untuk mengadopsi Fatih”, aku berujar lirih sekaligus mengadu pada Papa.
“Mama mu itu keras kepala sama seperti kamu tapi Papa tau dia takut kalau…
“Takut kalau anaknya dianggap janda anak satu yang ditinggal suaminya atau orang beranggapan Fatih adalah anaknya Saras diluar nikah”, aku sudah hapal kata-kata itu. Mama mendiktekannya ketika pertama kali aku mencoba mengutarakan niat baikku itu.
“Hmm...kalau menurut kamu itu baik untuk kamu dan niat kamu tulus kamu lanjutkan. Papa akan selalu berada dibelakang tuan putrid ”, ini yang kusuka. Papa tak pernah mampu mengelak dari keinginanku apalagi kalau aku sudah  menabuh genderang. Artinya pasukan dan senjata harus dimainkan. Tidak ada kata mundur apalagi menyerah.
“Kosongkan jadwalmu akhir tahun ,please need your hand”, aku mengetik cepat pesan singkat saat Papa beranjak ke dalam rumah. Tentu saja itu bukan untuk Niko.
“Zzzzz..baiklah tuan putri..tapi beribu maaf hamba tidak bisa menjemput tuan putri kali ini. Sudilah kiranya tuan putri menjemput hamba dikarenakan kereta kencana sedang dalam perbaikan”, tak perlu menunggu lama aku sudah mendapatkan apa yang kumau. Ya..Kemal tak pernah berkata tidak padaku dan aku suka caranya memperlakukanku benar-benar seprerti tuan putri. Sama seperti Papa. Diam-diam aku tersenyum sendiri membayangkan seandainya Niko adalah Kemal.





Sabtu di penghujung tahun 2014 

Udah gue bilang motor lo itu jual aja terus beli mobil biar tuan putri lo ini gak merangkap jadi tukang kusir”, aku menyindir Kemal begitu langsung menginjakkan kaki di little palace ini.
“Ye…itu motor punya sejuta kenangan mau sampe jadi besi tua pun ntar gue petiin”, Kemal membalasku tak kalah sewot.
“Ihhhh..eh by the way lusa nanti aku akan mulai mengurus administrasinya”, Kemal menghentikan aktifitas perbengkelannya. Ia menatapku sejenak dan menolehkan pandangannya ke dalam rumah.
“ Kamu tau kan Bunda sangat sayang Fatih”
“ Dan kamu juga pasti tau bagaimana perjuanganku untuk sampai ke titik ini”, aku tau akan ada banyak rintangan yang akan kulalui.
“Wish you luck…temui Bunda gih dikamarnya Fatih”.
Lama aku menatap mata Kemal dalam-dalam. Seolah menerobos langsung ke dalam isi hatinya. Satu senyuman yang terukir cukup mewakili betapa bersyukurnya aku. Tuhan mempertemukan aku dengan kebahagiaan bernama Fatih melalui seorang Kemal. Aku melangkahkan kaki ke dalam langsung menuju kamar Fatih. Tak lupa aku membawa bingkisan kado ucapan selamat atas keberhasilannya meraih peringkat dua lomba melukis. Sayup-sayup kudengar cengkarama hangat antara Fatih dan Bunda.
“Hai sayang…”, aku segera mengusap kepalanya begitu sampai. Bunda tersenyum ke araku. Ada rasa tak rela terbersit di dalamnya.
“Fatih dari sekarang harus belajar lebih mandiri lagi nak, kalau kamu nanti sudah tinggal sama Mama tidak akan ada Bunda lagi yang terus-terusan menjaga dan merawat kamu”
“Bun..?”, aku tak mengira kalau Bunda akan mengatakannya secepat itu apalagi melihat reaksi Bunda pertama kali saat aku mengutarakan niatku.
“Bunda sudah cerita semuanya dan Bunda percaya sama Saras”, Bunda mencengkram kedua tanganku kuat.Ada energi yang tak terlihat mengalir deras di sana.
Drrtt..drrt..drtt..
“Kamu di Ar-Rahman? Kenapa kamu tidak cerita semuanya sama Mama? Kamu beneran mau mengadopsi Fatih?Mama kesana sekarang juga!”, satu pesan singkat dari Mama tiba-tiba memecah haru biru ku dengan Bunda.Lima panggilan tak terjawab. Segera aku pamit keluar mencoba menghubungi Mama. Aku harus menghentikan langkah kaki Mama kesini. Terakhir kedatangan Mama kesini membuat Fatih tak mau menemiku seminggu lebih lamanya. Sialnya aku tak bisa menghubungi balik dan aku harus menyembunyikan Fatih kemanapun itu sebelum Mama menemui kami. Aku kembali ke dalam mendapati dua raut wajah bingung.
“Bunda…”, aku berujar lirih. Bunda menangkap kecemasanku karena ia adalah wanita selain Mama yang sekarang sangat dekat denganku.
 “Mama…kenapa masih belum mau membawa ku pulang kerumah? Aku sudah berkelakuan baik semenjak masuk sekolah bahkan aku sudah mendapatkan juara dua untuk semester ini. Aku janji lomba melukis nanti aku yang akan jadi pertama. Mama pasti  lebih suka piala yang lebih tinggi bukan…”
“Fatih ingin sekali tinggal bersama kamu dan Bunda sudah cerita semuanya. Dia senang bukan main”, Bunda menghampiriku yang masih mematung.
“Bunda akan bantu kamu untuk menjelaskan kembali semua ini ke Mama mu nanti”, tangisku pecah. Bagaimana tidak selain Mama alasan kenapa beratnya aku membawa Fatih bersamaku adalah Bunda yang dulu pernah menerima ketajaman mulut Mama dan semenjak itu ia hanya diam saat aku meminta restunya untuk menjadikan Fatih sebagai anakku.
“Ayo..kemaskan barang-barangmu sekarang karena kita akan pulang ke rumah hari ini juga..”, antara percaya dan tidak percaya aku sudah mengucapkannya. Kalian tentu tahu bahwa memori anak kecil lebih kuat dan lebih bersih dari pada kita. Tak mungkin aku mencabut kata-kata itu lagi atau bahkan dengan kejam nya mengatakan aku salah bicara. Tidak. Tidak akan. Pelukan spontan tanda kegirangan begitu erat  mencengkram. Pelukan itu  semakin menguatkan tekadku yang tanpa persiapan sekalipun. Aku adalah orang yang memegang prinsip bagaimana nanti nya saja. Tapi kali ini..ah entahlah…mungkin benar kita lihat nantinya saja seperti apa.
“ Mama…terima kasih…aku sayang mama..sangat..sangat..sayang…”, baiklah jebol sudah pertahananku sekarang. Buliran air yang sudah bertengger dipelupuk mata jatuh satu persatu hingga begitu deras membanjiri pipiku bahkan hampir membasahi pundak si bocah yang masih erat memelukku seolah takut kehilangan. Pekerjan paling berat saat ini adalah menahan isak tangisku agar tidak terdengar jelas.
Ya Tuhan..bagaimana mungkin aku setega ini kepadanya. Aku seorang ibu dan tidak seharusnya aku seperti  ini. Persetan dengan omongan orang nanti. Aku sudah membuka pintu yang selama ini tertutup rapat dan kakipun sudah terlanjur melangkah keluar meski baru selangkah. Oke aku kuat, aku bisa, aku pasti mampu. Teringat akan kata Bunda saat pertama kali bertemu, rahim itu sungguh maha luas maknanya. Bagi kami tidak hanya berisikan plasenta tempat janin bercokol.Lebih dari itu, dari rahimlah terlahir malaikat-malaikat kecil untuk siapapun itu dan di sudut bumi manapun. Ya..dari rahim yang kutafsirkan sebagai rasa sayang aku mendapatkan Fatihku.