Malaikat Kecil di Sudut Bumi
Sabtu di penghujung
tahun 2014
“Mama…kenapa masih belum mau membawa ku pulang kerumah? Aku
sudah berkelakuan baik semenjak masuk sekolah bahkan aku sudah mendapatkan
juara dua untuk semester ini. Aku janji lomba melukis nanti aku yang akan jadi
pertama. Mama pasti lebih suka piala
yang lebih tinggi bukan…”
Rentetan kalimat dari mulut mungil bocah awal tujuh tahunan
yang menikam nurani tanpa ampun.
Kata – kata yang dalam hitungan detik membuat buliran air
mata hampir berjatuhan . Pikiranku nanar, kosong, bahkan aku merasa jijik pada
diriku sendiri. Benarkah itu aku? Lalu, bocah
di depanku ini siapa?
Wajah polos yang masih menunggu jawaban. Bibir bawahnya ia
gigit-gigit sedari tadi mencoba menahan kata-kata selanjutnya. Aku tau ia akan
mengatakan “ Mama maaf, lain kali saja aku ikut dengan Mama pulang kerumah “
atau “ Aku disini saja, lebih menyenangkan” seperti biasanya. Bocah itu,
melangkah pelan menuju daun pintu dimana aku berdiri mematung, menggamit jemari
tanganku yang polos tanpa satu cincin pun melingkar. Kepalanya ditundukkan
menunjukkan betapa ia menyesal telah mengucapkannya. Bunyi lonceng bel dari jam analog ruang tengah berdentang
keras menunjukkan tepat pukul 12.00
siang sekaligus menghentakkan ku pada kenyataan yang di hadapanku saat ini.
Bocah itu butuh jawaban pasti sekarang bukan sekedar bujuk rayu bahwa Sailor
Moon pasti akan mengalahkan kejahatan karena ia punya kekuatan bulan. Bujukan
bodoh yang sudah kadaluarsa dan tak akan mempan lagi. Aku menarik nafas
dalam-dalam mencoba menghentikan laju tetesan air yang sudah mencapai pelupuk
mata. Aku merendahkan badan dan menyentuh dagu mungilnya, kutatap dalam-dalam
bola mata yang harap-harap cemas menunggu reaksiku.
“Ayo...kemaskan barang-barangmu sekarang karena kita akan
pulang ke rumah hari ini juga..”, antara percaya dan tidak percaya aku sudah
mengucapkannya. Kalian tentu tahu bahwa memori anak kecil lebih kuat dan lebih
bersih dari pada kita. Tak mungkin aku mencabut kata-kata itu lagi atau bahkan
dengan kejam nya mengatakan aku salah bicara. Tidak. Tidak akan. Pelukan
spontan tanda kegirangan begitu erat
mencengkram. Pelukan itu semakin
menguatkan tekadku yang tanpa persiapan sekalipun. Aku adalah orang yang
memegang prinsip bagaimana nanti nya saja. Tapi kali ini..ah entahlah…mungkin
benar kita lihat nantinya saja seperti apa.
“ Mama…terima kasih…aku sayang mama..sangat..sangat..sayang…”,
baiklah jebol sudah pertahananku sekarang. Buliran air yang sudah bertengger
dipelupuk mata jatuh satu persatu hingga begitu deras membanjiri pipiku bahkan hampir
membasahi pundak si bocah yang masih erat memelukku seolah takut kehilangan.
Pekerjan paling berat saat ini adalah menahan isak tangisku agar tidak
terdengar jelas.
Ya Tuhan..bagaimana mungkin aku setega ini kepadanya. Aku seorang
ibu dan tidak seharusnya aku seperti
ini. Persetan dengan omongan orang nanti. Aku sudah membuka pintu yang
selama ini tertutup rapat dan kakipun sudah terlanjur melangkah keluar meski
baru selangkah. Oke aku kuat, aku bisa, aku pasti mampu.
Tatapan Bunda yang menatap kami penuh haru semakin
meyakinkanku untuk melangkah maju. Bunda juga tau aku pasti bisa.
Januari kelabu, tujuh
tahun yang lalu…
Aku benci hari ini, sangat-sangat benci rasanya semua orang seperti memusuhiku
bersamaan. Ini adalah hari paling buruk yang pernah aku alami. Telat
berkali-kali seperti biasa namun kali ini luar biasa karena hari ini adalah
hari pertama ujian ku di bangku perkuliahan. Kebiasaan buruk semasa SMA yang masih
terpelihara dengan baik dan Mama yang sudah mulai enggan membangunkanku
pagi-pagi dengan alasan aku ini adalah
seorang mahasisiwi sekarang. Ah..andai Mama tau kalau title itu tidak memberikan efek kedewasaan pada kepribadianku
sekarang ini.
“Saras dimana? Gue udah
di perpus…”
Satu pesan singkat mengingatkanku kalau masih ada cobaan
lain lagi setelah ujian Pengantar Akuntansi yang begitu menguras pikiran.
Makalah hukum bisnis yang harus dikumpulkan sebelum ujian berakhir belum
tersentuh sama sekali bahkan sekedar cover pun belum.
Dengan langkah gontai kedua kaki ku seperti sudah diintruksi
untuk tidak melangkah ke lain tempat lagi selain perpustakaan. Dua orang
mahasiswi yang ku kenali sebagai aktivis kampus menyambutku dengan selebaran
warna-warni di depan pintu perpustakaan. Dengan senyuman kecil selebaran itu
pun sudah berpindah tangan yang langsung kuterima dan kulipat kecil tanpa
menghiraukan isinya.
“Saras!”, Kemal teman paling setia yang mengerti betapa miserable nya aku ketika lupa akan tugas
kuliah dan lalai akan kedisiplinan waktu.
“Huffs…kayaknya gue mau
ngulang SNMPTN lagi deh taun depan mal..”, aku langsung mengoceh begitu
mendapatkan sebuah bangku kosong disebelah Kemal. Ia yang selalu asyik dengan
buku-buku bantal nya melirikku dengan senyuman yang tidak simetris sama sekali.
3 cm ke kiri dan 0,5 mm ke kanan.
“Pardon me??? Trus
begitu lo ngulang SNMPTN lagi dan lolos dan menghadapi masalah seperti ini lagi
lo mau ngulang lagi sampe SNMPTN berubah nama jadi UMBPTN lagi gitu?”,
ah..Kemal selalu saja begitu, memberikan
support agar tidak menyerah begitu saja dengan lelucon sekaligus sindiran.
“Hmm..welll…gitu aja terus sampai..”, aku menghela nafas
dengan berat.
“Sampai ladang gandum di hujani meteor coklat dan jadilah
choco crunch!”,
“Ha..ha..ha…”, kami kompak terwata bersamaan tepat setelah Kemal menyambung slogan
andalan kami yang baru saja dipatenkan. Ya..itu semcam peribahasa untuk mission impossible yang telah kami
patenkan bersama.
“Lo udah selesai merangkum bantal?diktein donk!, aku melirik
kitab-kitab suci berbau ekonomi yang sedang digarap Kemal.
“Saras, gue kan udah pernah bilang ke elo kita bisa kalau
kita yakin lo itu bisa hanya saja lo suka membatasi kemampuan lo sendiri”,
oke..ini akan berlanjut seperti sinetron 1000 episode seperti biasa. Cukup
menyimak dan jadi pendengar yang baik.
“Hmm..tapi gue sibuk Mal akhir-akhir ini belum lagi kursus
ina ini ita itu”, sedikit berargumen tidak apa-apa lah setidaknya aku mencoba memberi
feed
back pertanda aku adalah pendengar yang baik.
“Sibuk?semua itu bisa dikerjai berbarengan kali Ras..
“Tapi gue gak bisaaaa, gue gak bisa multi
tasking”, well kali ini aku sedikit membelot dari cap pendengar yang baik.
“ Dan ini apa?”, Kemal langsung menarik selebaran
warna-warni yang telah bermetamorfosa menjadi origami bangau.
“Lo itu kebanyakan ngeluh dan gak mau fighting itu aja!”, si bangau kertas tadi akhirnya kembali ke bentuk
semula nya. Aku tidak menggubris lagi kalimat Kemal yang terakhir karena
bisa-bisa akan berujung pada debat panas ala-ala politikus yang seperti biasa
ku lihat di layar tv.
“Eh lo udah milih organisasi yang sesuai minat lo gak?,
Kemal mulai bersuara.
“Minat gue?ada sih tapi lo tau sendiri nyokap gue udah
ngedesign schedule yang begitu apik
untuk anak semata wayangnya ini dan sialnya lagi begitu gue ngadu ke bokap
malah dikasih wejangan dan ujung-ujungnya ya…” aku menggantung kalimat akhirku
sesaat. Hmm..kalau sudah berbicara soal orangtua aku merasa terjebak dalam
tampilan keluarga urban yang jauh dari cerita Keluarga Cemara tontonan semasa
kecilku.
“Gue berasa seperti boneka Mal, apa gue balik ke Sumatera
aja kali ya tinggal ama Nenek..”, kalimat penutup yang merupakan harapan
terakhirku tapi tidak pernah terwujud sama sekali.
“ Well, kalau lo belum mutusin mau ikut yang mana gimana
kalo besok sore ikut gue aja siapa tau yang ini cocok buat lo”, Kemal tidak
menggubris cerita sendu ku yang sudah bukan rahasia lagi baginya.
“ Emang mau kemana sih?”
“ Ke tempat yang lo bisa menemukan alasan kenapa lo mesti fighting dan survive dari sekarang..”,
Baiklah, sepertinya ini menarik. Sebenarnya ada sisi lain
dari Kemal yang belum aku ketahui secara keseluruhan. Aku mengenalnya baru
empat bulan semenjak awal masuk kuliah karena dia teman satu gugus ku ketika
masa Ospek . Sesekali aku ingin menanyakan beberapa hal yang sifatnya privasi
dan kegiatan misteriusnya di luar kampus
hanya saja sering tercekat di tenggorokan. Ya..hal-hal seperti itu tidak ubahnya seperti tak melihat
gajah di pelupuk mata. Aku dan kisahku jauh lebih kacau dan bagaimana mungkin
aku berani menanyakannya.
“ Oke deh gue ikut tapi jemput gue besok ya”
“Jemput?”, satu kata tanya diiringi dahi berkerut dari
Kemal.
“Gue mau nginap di rumah Bokap malam ini”, aku menjawab
sambil mengalihkan pandangan.
“Oke deh Saraswati besok gue jemput lo, we’ll find that reason tomorrow..”, aku hanya membalas kalimat
terakhir Kemal dengan senyuman tulus sebelum mengambil ancang-ancang untuk
segera pergi.
“Hmm Kemal…bisa anterin gue ke pengadilan agama yang deket
kantor walikota gak?Ini sidang terakhir nyokap sama bokap saking excited nya gue sampe lupa minta uang
saku…”. Ini sedikit gila atau memang
sudah gila tetap berusaha melucu walaupun mata sudah berkaca-kaca. Saras..kamu
begitu terlihat menyedihkan sekarang dan Kemal? ah…dia begitu baik untuk ukuran
teman empat bulanku.
Januari yang mulai
cerah 3 tahun yang lalu
“Cieee..cantik banget sih Ras..”, Kemal menggoda nakal
melihat penampilan ku yang benar-benar berbeda dari hari-hari biasa. Long dress
putih gading semata kaki,high heels lima senti punya Mama yang kupinjam diam-diam
dari lemari penyimpanan koleksi sepatunya serta rambut yang digerai menawan
hasil nge-blow satu jam lebih. Oya,
satu lagi! make up yang sudah melekat sempurna di setiap sudut wajahku.
Perfect! Tiba-tiba aku merasa bak Cinderella semalam.
“ Ya donk…kan hari special
masa gue pake baju ombrengan kaya biasa ntar Fatih malu lagi”, pelan aku
berjalan menuju Kemal yang sudah siap dengam motor Satria kebanggannya. Kalau
boleh memuji, penampilannya tak kalah mempesona mata .
“Kenapa bengong begitu? Lo pangling liat gue pake dasi
kupu-kupu? Cakep ya?”, uhuk..hampir saja aku akan melontarkan pujian tapi ya
sudahlah tidak ada gunanya melihat reaksinya barusan.
“Cakepan Fatih kali dibandingin lo, yuk ah berangkat sebelum
keburu malem,inget lo bawa Cinderella lho gak boleh pulang sebelum jam 12
malem!”, aku menunjuk-nunjuk wajah Kemal seperti seorang guru yang mengajarkan
anak muridnya membaca.
“Siap Cinderella yang baik hatinya gue pastikan gaun lo gak akan berubah jadi celemeknya upik
abu dan motor gue gak akan jadi labu”, aku benar-benar merasa seperti
Cinderella hari ini apalagi akan ada seorang pangeran tampan yang sudah
menunggu kedatangan ku. Hmm..tak sabar rasanya.
18.40 WIB di kediaman
yang aku dan Kemal biasa sebut little
palace
Kurcaci-kurcaci itu berlari berhamburan ketika mendengar
suara motor Kemal yang baru saja memasuki halaman depan. Wajah-wajah mereka
begitu mebuat tangan ku gatal untuk mencubit pipi mereka satu-satu.
“Wah..Kak Saras cantik sekali aku mau jadi pacarnya kak
Saras donk”, Rasya bocah yang baru saja naik kelas 5 SD memandangku dari ujung
rambut sampai ujung kaki dengan mulut menganga. Sumpah, ini baru pertama kali
aku merasa tersanjung sekaligus ingin tertawa terbahak-bahak.
“Kak Kemal juga ganteng banget hari ini,dasi kupu-kupu nya
lucu ih”, ini suara cemprengnya Tania yang semakin hari semakin centil saja
semenjak memasuki taman kanak-kanak. Kemal melirik ku sambil menahan senyum dan
tetap berusaha terlihat cool seperti biasa.
“Ike! Fatih udah siap?”, aku melambaikan tangan sambil
berteriak begitu Ike muncul dari dalam rumah.
Usianya terpaut delapan tahun lebih muda dariku.
“ Sudah kak, dari tadi uring-uringan terus tuh nanyain
kakak..oya kak,kue ama kado-kadonya ada di kamarnya Ike abisnya gak muat kalo
ditaro semua dimeja kan sempit trus lilinnya juga udah dipasang. Fatih lagi
nonton di ruang tengah tuh sama Bunda”, Ike memberikan laporan kondisi terkini
tepat sesuai instruksi dari ku tadi siang.
“Ras, lo beli apaan?”, Kemal menatapku heran.
“Gue mindahin isi kantong doraemon kesini emang kenapa?”aku
menjawab asal.
“Lo ngerengek ama bokap lo lagi?”, Kemal masih saja
bertanya.
“Mal, lo tau gak sih ternyata kasih ayah juga sepanjang
jalan”, aku masih menjawab asal atau mungkin yang satu ini benar.
“ Hey kalian malah asyik berdiri di luar ayo cepetan masuk
sebelum ketauan Fatih lho”, Mbak Tini juru masak little palace ini membuyarkan perdebatan kecilku dengan Kemal.
“Ike, kakak masuk dari pintu belakang saja nanti kakak ke
kamar kamu dulu ngambil kuenya kamu ama Kak Kemal tolong bantu ngatur kondisi
ya biar surprise nya sempurna”, aku
langsung memberi titah. Kemal yang sudah mengerti berhenti mengajukan
pertanyaan –pertanyaan yang sudah bisa kuterka. Aku pun segera mengambil
peranku. Merasakan aura malam ini hampir membuat jangtungku berhenti berdetak.
Kemal, teman empat bulanku dua tahun yang lalu tak disangka
mampu memberikan matahari di tengah kelabunya hari-hari yang kujalani
sebelumnya. Kuakui, dia berhasil bahkan sukses memberikanku alasan kenapa aku
harus kuat dan tegar meskipun aku seorang perempuan sekalipun. Tidak gampang
memang, sembunyi-sembunyi dari Mama dan sempat ketahuan berkali-kali lantaran
Mama bilang aku sudah melewati batas kegiatan yang Mama anggap kegiatan sosial
belaka. Beda dengan Papa, dia bahkan menyokongku dengan semua kemampuan yang ia
miliki. Meskipun aku tau Mama lebih sejahtera dibandingkan Papa tapi toh aku
putri tunggalnya dan hingga sidang cerai hari itu Papa masih betah menduda
katanya sih biar duit Papa habisnya buat aku saja. Aku langsung menghambur ke
pelukan Papa saat itu juga, terserah jikalau ada yang menilai karena alasan
material atau bukan karena yang penting aku senang, sangat senang dengan alasan
tersebut.
“Yah..lilin nya keburu meleleh duluan deh”, aku berbicara
pada diriku sendiri. Lilin berbentuk angka empat itu sekarang cenderung
terlihat seperti huruf “C” terbalik.
Dasar pelupa, aku alfa mengingatkan Ike untuk tidak menyalakan lilinya dulu
sebelum aku datang. Sudah tahu Ike orang yang saking rajinnya akan menyiapkan payung
bahkan ketika hari masih cerah
sekalipun.
“Ras, lama amat sih itu Fatih bentar lagi meledak lho!”,
suara bass Kemal hampir saja mengagetkanku.
“Liat nih..”, aku merajuk sambil memonyongkan bibir menunjuk
lilin yang aku ratapi sedari tadi.
“Ya elah Ras Cuma lilin doank..”, Kemal memasang muka paling
butek.
“Tapi..
“Ah elu kalo kaya gini terus gak jadi surprise nya nih..
“Bentar..sebentar..,” aku masih berusaha memperbaiki lilin
malang yang rasanya seperti merubah itik buruk rupa hingga berubah menjadi
angsa nan menawan saja. Hahh..Kemal benar, keribetanku malah membuat aku yang
surprise sendiri dalam arti sebenarnya. Telingaku menangkap suara derap langkah kaki.
Langkah itu dalam hitungan detik terdengar semakin kencang menuju kamar ini.
Aku menghitung mundur, kedua tangan ku segera mengangkat kue tart tanpa
menghiraukan lagi bentuk lilinnya yang semakin aneh saja. Oke,
satu..dua..tiga..
“SELAMAT ULANG TAHUN FATIH SAYANG…!!!”
Binggo!!! Perhitunganku
tepat sekali. Begitu langkah kakinya sejajar dengan ambang pintu dan pendar
matanya menangkap sosok ku maka aku
sudah siap dengan pose terbaik ku. Malahan Kemal yang terlihat seperti orang
linglung begitu mendapati sosok yang harusnya mendapatkan surprise lebih dulu telah
berada dua langkah di depannya. Tapi aku menikmati atmosfir yang tercipta
sejenak. Tatapan penuh cinta, harap dan perasaan bahagia yang tiada tara. Kedua
tangannya membekap mulutnya sendiri berusaha menahan teriakan yang keluar. Bola
matanya yang paling aku sukai yang sekarang terlihat hampir meloncat keluar.
“Maamaaaaaa….!!!!”, bekapan tangannya akhirnya terlepas dan
langsung memeluk ku erat. Semakin ia erat memeluk semakin susah aku menahan
kendali emosi yang semakin memuncak.
“Saras awas…kue nya…!!!”
“Aaaarrrghhhh!!!”, shit
aku mengumpat kesal. Sekarang gaun putih gading ku sudah bermotif aneka
warna. Sungguh semarak.
Satu hari setelah
Januari Kelabu lima tahun yang lalu
“ Jadi lo sering kesini ya setiap perkuliahan selesai..”,
aku mengamati rumah kuno peninggalan Belanda yang tertata apik. Ada belasan
kamar di dalamnya sepertinya baru saja dikonstruksi ulang.
“ Hai kak Kemal..”, bocah yang masih memakai seragam merah
putih itu menyapa Kemal dengan hangat seolah sudah kenal lama. Di belakangnya
terlihat bocah perempuan mengekor dengan tatapan malu-malu.
“Hai Ike, ujiannya udah selesai? Gimana susah gak?”
“Hmm awalnya aku pikir susah ternyata setelah ingat tips
berhitung cepat dari Kak Kemal 30 menit mah beres”
“Nah gitu donk..itu baru namanya adek kakak”, Kemal mengusap
pelan kepala bocah bernama Ike. Aku yang sedari tadi menjadi penonton hanya
menunggingkan senyum kecil ketika si bocah berseragam merah putih itu melihat
ku lalu melirik Kemal lagi.
“Oh ya, ini temen Kakak kenalin namanya Kak Saras”, tanpa
diinstruksi lagi aku langsung menjulurkan tangan kananku mengajak si bocah
berjabat tangan.
“ Hai Kakak… tumben kak Kemal bawa temen?,” Ike menjabat
tangan ku sambil terus bertanya.
“Hai Ike”, aku membalas jabat tangannya mata ku pun kembali
melirik Kemal menunggu jawabannya atas pertanyaan Ike barusan. Bocah perempuan
yang mengekor dari belakang itu semakin erat memegang rok Ike ketika sudut
mataku mencuri pandang pada wajah lugunya.
“Iya nih, soalnya kemaren ada yang cerewet minta Kakak
perempuan biar ada yang ngajarin dandan katanya”, mendengar jawaban Kemal aku
langsung mendelikkan mata.Mengajarkan dandan?what? aku memang tidak pernah lupa
berkaca tapi kurasa kaca mata Kemal yang perlu diperiksa ulang.
“Eh Tania..sini sayang sama Kakak. Tania mau kenalan sama
Kas Saras juga ya?”, ragu-ragu tangan nya menggamit tangan Kemal dan menatapku
malu-malu.
“Oya Kak Kemal sudah tau belum kita punya adik baru lagi?”,
Ike menatap Kemal seolah ingin mencuri tahu sejauh mana Kemal mengenali tempat
ini.
“Tau donk ini Kakak bawain hmm apa ya namanya pokoknya buat
balita yang baru belajar jalan biar gak lecet ntar lutut nya”, Kemal
mengeluarkan sebuah bungkusan berukuran sedang dari ranselnya.
“Lho Kak Kemal kok tau? Adeknya kan datang baru tiga hari
kemaren nah Kakak aja udah seminggu gak kesini sampai lupa pesanan aku”, Ike
mengerutkan bibir mungilnya. Aku baru menyadari maksud percakapan ini ternyata
sebgai bentuk protes akan absen nya Kemal ternyata.
“Kakak kan ujian Ike…jadi harus belajar ekstra biar nilainya
bagus oya ini pesanan kamu gak mungkin donk Kakak lupa”, seperangkat alat tulis
bertemakan Little Mermaid berpindah tangan seketika. Wajah yang terlihat
mendung tiba-tiba cerah seketika.
“Ras yuk kebelakang ada yang mau gue kenalin lagi sama lo”,
Kemal menarik pandanganku dari wajah ceria Ike yang sibuk membongkar isi kotak
pensil yang hanya segenggaman tangan.
Sayup-sayup aku
mendengar alunan lagu pengantar tidur yang mampu membius imajinasiku
seketika. Lagu yang sering Mama andalkan untuk melelapkanku di kala malam sudah
datang menyuruh istirahat barang sejenak.
“Ssst…”, Kemal member isyarat kepadaku untuk tidak membuat
suara gaduh sambil berusaha pelan membuka pintu tua yang berdenyit pertanda
usia. Seorang wanita yang kuperkirakan berusia sepantaran Mama tersenyum sambil
mengibas-ngibaskan kipas ke arah bocah dipangkuannya.
“Sudah selesai ujiannya nak?”
“Sudah Bun”, Kemal segera menghampiri wanita tersebut lalu
menyalaminya. Ia melirik ke arahku yang masih terlihat canggung.
“Saras kenalin,ini Bunda”, seperti layaknya perkenalanku
dengan Ike barusan. Aku segera menyalaminya tanpa ragu. Senyuman tulus yang
meneduhkan itu tak perlu dicurigai lagi keabsahannya.
“O..jadi ini yang namanya Saras toh”, si Bunda mengangguk
pelan seakan sudah mengenalku lama.
“Iya Bunda…”, aku hanya mencoba mengiyakan saja.
“Bunda ini ibu kandung gue dan dua bocah didepan tadi
adik-adik gue nah yang dipangkuan bunda sekarang adik baru gue”, tanpa disuruh
Kemal menjelaskan dengan singkat mencoba memecahkan pertanyaan-pertanyaan yang
ada sudah bertebaran di dalam pikiranku.
“Hmm..adik kandung lo juga?”
“Hmm gimana ya Bun? Mereka lahir dari rahimnya Bunda juga
kan?”, Kemal melirik Bunda seperti meminta dukungan atas penjelasannya.
“Ia..mereka lahir dari rahimnya Bunda juga, dari rasa
sayangnya Bunda tentunya”, ada perasaan teriris begitu mendengar penjelasan
mereka. Sesuatu yang mulai hilang dari genggamanku sejak beberapa bulan yang
lalu.
“Kamu mau coba gendong ?”, Bunda melirik ke arah ku.
“Boleh?”
“Kenapa tidak, sini Bunda ajarkan bagaimana caranya
menggendong bayi”, Bunda mengarahkan tanganku agar pas dalam menggendong bayi. Mendapat arahan seperti ini rasanya
seperti menjadi ibu sungguhan saja.
“Nah, iya begitu..tuh kamu sudah pas tangannya”, begitu si
bayi mungil itu sudah berada di dalam dekapanku aku langsung liar menjelajahi
setiap sudut wajahnya. Matanya yang bulat sempurna seolah menyiratkan betapa
sucinya sinar kehidupan yang ia miliki. Matanya mengedip pelan seolah kebingungan
melihat tingkah polahku yang senyum-senyum sendiri.
“Namanya Fatih umurnya
satu taun dua bulan, sudah mulai belajar berbicara tapi agak sedikit lambat
dalam motorik”, aku memperhatikan kasa putih yang melilit kedua lututnya.
“Kita nemuin dia depan
rumah dalam tas berisi banyak barang. Benda-benda bayi sih tepatnya tapi
beberapa benda tersebut menindih bagian kakinya. Kata dokter mungkin terlalu
lama ditindih benda yang lumayan berat untuk seukuran dia jadi ada cidera gitu.
Tapi dia ini gigih banget lho Ras buat belajar jalan, nih buktinya udah
diperban lagi padahal baru seminggu kemaren lepas perban”, mataku menangkap
sepasang kaki yang masih menendang-nendang bebas di udara meskipun berbalut
perban. Andai aku sekuat dia, sekuat bayi mungil didepanku ini. Oh Tuhan kenapa
aku begitu lemah.
Sejak saat itu hampir tiap hari aku menghabiskan waktuku
disini. Ini rumah ketigaku tepatnya setelah setiap hari pulang kerumah Mama dan
weekend di rumah Papa tapi tetap tak pernah lupa aku singgah kesini walaupun
hanya sekedar menyapa. Bagiku ini bukan panti asuhan yang sebagian orang
beranggapan sebagai tempat dimana mereka bisa “membuang” amanah yang belum siap
mereka emban. Bagiku ini adalah panti kebahagiaan dimana orang-orang yang mata
hatinya tertutup tidak sadar kalau mereka telah membuang kebahagiaan terbesar
dari kehidupan mereka. Fatih…entah mengapa sejak awal mengenal sosok kecil itu
aku seperti menemukan kebahagiaan tersendiri yang tidak aku temukan di rumah
sendiri.
“Fatih sayaaaangg…”, aku berlari begitu memasuki daun pintu
panti kebahagiaan Ar-Rahman ini. Hampir tiga bulan sudah aku absen kesini
karena program Magang dari kampus yang menempatkanku di Cirebon ditambah
kegiatan yang menyita waktu diluar magang membuatku tak bisa kembali ke Jakarta
walau sebentar saja.
“Hai…kamu bingung ya..”, aku melihat gelagat Fatih yang
tampak ragu-ragu melangkahkan kakinya.
“Ayo sini digendong”, baiklah sepertinya memang aku yang
harus mendekatinya. Fatih bukanlah tipe anak yang terlalu aktif dan cepat
bersosialisasi dengan orang baru. Ah lucunya, dia tidak menolak dan tidak juga
terlalu bersemangat ketika kugendong. Matanya menyusuri setiap sudut wajahku
dan keningnya berkerut masih dalam keraguan. Tangan mungilnya memegang wajahku
seperti mengingat-ingat sosok yang sempat hilang dari pandangannya.
“Mhhhh…”, ia mulai bergumam seolah memberitahuku sepertinya
ia sudah ingat siapa sosok yang tengah asik menggendongnya sekarang.
“Iya…Fatih mau ngomong apa sayang?”, aku membelai rambutnya
yang semakin tebal saja.
“Mha….”,
“Mmhhaa”, hampir saja Fatih jatuh dari pangkuanku. Tanganku
seperti kehilangan kekuatannya. Apa aku tidak salah dengar? Mungkin ini hanya
reaksi atau gumaman asal-asalan saja karena kudengar kabar dari Bunda Fatih
sudah mulai mengeja kata-kata bahkan kalimat.
“Mhaaaaa!,” kali ini teriakannya makin kencang kedua
tangannya erat mencengkram pundakku. Tangisannya pecah seketika seolah takut
ditinggal pergi. Ini bukanlah situasi yang bisa aku cerna dengan akal pikiran
sehatku. Spontan, tiba-tiba saja air mataku pecah seketika. Aku tau arti
cengkraman kuat tangan kecilnya dipundakku. Cengkaraman takut kehilangan,
jangan pergi dan jangan tinggalkan aku. Belasan tahun lalu aku memeluk kuat
kaki Papa yang bersiap keluar dari rumah setelah bertengkar hebat untuk pertama
kalinya dengan Mama. Aku mencengkram kaki Papa kuat-kuat hingga telapak tanganku
kebas rasanya. Sejak saat itu hubungan Papa dan Mama tidak lagi seindah masa
kecilku. Aku tau mereka tidak lagi saling sayang apalagi saling cinta tapi aku
juga tau mereka sangat menyayangi dan mencintai aku yang teramat takut
ditinggal. Aku adalah anak tunggal mereka yang manja dan egois. Aku tidak mau
ditinggal, bagaimanapun aku tidak akan membiarkan salah satu dari mereka
meninggalkanku begitu saja. Tidak peduli perasaan mereka, aku mau keluarga yang
utuh seperti keluarga cemara.
“Sssstt….Mama disini, mama gak akan ninggalin kamu..”, pelan
aku mengusap pundaknya mencoba menenangkan. Entah ia mengerti atau tidak namun
ajaibnya kalimat yang aku ulang-ulangi itu mampu membuat Fatih diam dan
berhenti menangis hanya isakan kecilnya yang terdengar mulai mereda.
“Jangan nangis lagi, Mama disini..everything is ok..semuanya baik-baik saja sayang..”, kalimat paling
ampuh yang Mama gunakan untuk menarik cengkraman tanganku dikaki Papa ternyata juga
ampuh untuk menenangkan Fatih. Ahh…aku harus rajin dan harus punya masa depan
yang jelas dari sekarang. Akan ada jiwa dan raga yang akan jadi tanggung
jawabku mulai detik ini.
Awal Desember 2014,
“Kamu yakin?”, Papa kembali bertanya kepadaku untuk keseribu
kalinya.
“Untuk keseribu kalinya sangat..sangat yakin Pa. Fatih sudah
mulai besar sekarang dan aku mau setiap dokumen tentang dia atas namaku. Aku
akan mengurus keperluan administrasinya lusa nanti katanya pengadilan butuh
waktu dan akan melakukan peninjauan apakah aku layak atau tidak”, aku menatap
sepasang bola mata yang sudah tampak menua itu dalam-dalam. Mencoba menerobos
lebih dalam lagi apa yang ada dibenak hati Papa.
“ Mamamu bagaimana? Bukankah ia masih tidak setuju kalau
kamu mengadopsi Fatih apalagi kamu belum menikah Ras. Tanggung jawab terhadap
anak itu tidak seperti kamu memelihara si Putih kucingmu itu yang dikasih makan
lalu dibiarkan saja”, lagi-lagi Papa membantah argumenku.
“Pa..Saras memang belum menikah dan memang Fatih tidak
terlahir dari rahim Saras, tapi ia lahir dari kasih sayang Saras yang sudah
lebih lima tahun ini menemani Saras. Lagian siapa bilang si Putih Cuma dikasih
makan doank terus dibiarin. Saban hari si Putih itu minta dibelai terus karena
dia tau Saras care dan sayang sama
dia”, kali ini nada ku sedikit sewot.
Aku orang yang tidak suka jika keinginanku dibantah oleh orang terdekatku
apalagi Papa. Selain itu kurasa itu semua tidak bisa dijadikan parameter mutlak
apa aku pantas atau tidak.
“ Dasar keras kepala…ini nih yang mau jadi ibu”, Papa
menyubit pipi ku pelan. Aku langsung bersandar manja dipundak Papa.
“Kalau ada apa-apa kamu kasih tau Papa. Sekolah anak
sekarang mahal belum biaya ini itu..”
“Pa..aku udah mempersiapkan ini semua dari dulu”, aku
mengangsurkan buku tabunganku ke tangan Papa. Semua angka yang tertera didalam
memang bukan hasil jerih payahku seratus persen. Sebagiannya adalah uang dari
Papa yang sering ditransfer kepadaku setelah Papa dan Mama bercerai. Semenjak
mengenal Fatih dan berniat untuk mengadopsinya sebagai anak, aku mulai belajar
untuk tidak berfoya-foya dan disiplin terhadap finansial sendiri.
“Anak Papa ternyata memang susdah dewasa sekarang…”, kini
mata yang sudah menua itu tampak berkaca-kaca.
“ Papanya Saras ternyata sudah tua sekarang …sebentar lagi
mau punya cucu”, aku memegang erat tangan Papa. Mencengkramnya kuat-kuat namun
tak lagi menghalanginya pergi. Aku sadar sekarang Papa tidak akan pernah pergi
meninggalkanku sendirian meski pun kita bertiga tak lagi dinaungi oleh atap
yang sama. Awal tahun ini juga aku akan memulai lembaran baruku bersama Fatih.
Segala resiko termasuk reaksi Mama yang tak terbayangkan sudah kupikirkan sejak
Fatih pertama kali memanggilku sebagai Mama.
Drrtt..drrt…
“Saras, ini saya Niko.
Akhir bulan ini ibuku ingin mengundangmu dan Bu Wina untuk makan malam dirumah.
Bisakan?”. Satu pesan singkat dari Alviano Nikola. Partner bisnis Mama yang
baru satu minggu ini getol mendekatiku. Tentu saja ini juga tak lepas dari campur tangan Mama
yang sangat memnginginkanku segera menikah mengingat aku telah bekerja meskipun
baru dua tahun lamanya.
“Mama selalu punya sejuta ide agar aku membatalkan niatku
untuk mengadopsi Fatih”, aku berujar lirih sekaligus mengadu pada Papa.
“Mama mu itu keras kepala sama seperti kamu tapi Papa tau
dia takut kalau…
“Takut kalau anaknya dianggap janda anak satu yang ditinggal
suaminya atau orang beranggapan Fatih adalah anaknya Saras diluar nikah”, aku
sudah hapal kata-kata itu. Mama mendiktekannya ketika pertama kali aku mencoba
mengutarakan niat baikku itu.
“Hmm...kalau menurut kamu itu baik untuk kamu dan niat kamu
tulus kamu lanjutkan. Papa akan selalu berada dibelakang tuan putrid ”, ini
yang kusuka. Papa tak pernah mampu mengelak dari keinginanku apalagi kalau aku
sudah menabuh genderang. Artinya pasukan
dan senjata harus dimainkan. Tidak ada kata mundur apalagi menyerah.
“Kosongkan jadwalmu akhir
tahun ,please need your hand”, aku mengetik cepat pesan singkat saat Papa
beranjak ke dalam rumah. Tentu saja itu bukan untuk Niko.
“Zzzzz..baiklah tuan
putri..tapi beribu maaf hamba tidak bisa menjemput tuan putri kali ini. Sudilah
kiranya tuan putri menjemput hamba dikarenakan kereta kencana sedang dalam
perbaikan”, tak perlu menunggu lama aku sudah mendapatkan apa yang kumau.
Ya..Kemal tak pernah berkata tidak padaku dan aku suka caranya memperlakukanku
benar-benar seprerti tuan putri. Sama seperti Papa. Diam-diam aku tersenyum
sendiri membayangkan seandainya Niko adalah Kemal.
Sabtu di penghujung
tahun 2014
“Udah gue bilang
motor lo itu jual aja terus beli mobil biar tuan putri lo ini gak merangkap
jadi tukang kusir”, aku menyindir Kemal begitu langsung menginjakkan kaki di
little palace ini.
“Ye…itu motor punya sejuta kenangan mau sampe jadi besi tua
pun ntar gue petiin”, Kemal membalasku tak kalah sewot.
“Ihhhh..eh by the way lusa nanti aku akan mulai mengurus
administrasinya”, Kemal menghentikan aktifitas perbengkelannya. Ia menatapku
sejenak dan menolehkan pandangannya ke dalam rumah.
“ Kamu tau kan Bunda sangat sayang Fatih”
“ Dan kamu juga pasti tau bagaimana perjuanganku untuk sampai
ke titik ini”, aku tau akan ada banyak rintangan yang akan kulalui.
“Wish you luck…temui Bunda gih dikamarnya Fatih”.
Lama aku menatap mata Kemal dalam-dalam. Seolah menerobos
langsung ke dalam isi hatinya. Satu senyuman yang terukir cukup mewakili betapa
bersyukurnya aku. Tuhan mempertemukan aku dengan kebahagiaan bernama Fatih
melalui seorang Kemal. Aku melangkahkan kaki ke dalam langsung menuju kamar
Fatih. Tak lupa aku membawa bingkisan kado ucapan selamat atas keberhasilannya
meraih peringkat dua lomba melukis. Sayup-sayup kudengar cengkarama hangat
antara Fatih dan Bunda.
“Hai sayang…”, aku segera mengusap kepalanya begitu sampai.
Bunda tersenyum ke araku. Ada rasa tak rela terbersit di dalamnya.
“Fatih dari sekarang harus belajar lebih mandiri lagi nak,
kalau kamu nanti sudah tinggal sama Mama tidak akan ada Bunda lagi yang
terus-terusan menjaga dan merawat kamu”
“Bun..?”, aku tak mengira kalau Bunda akan mengatakannya
secepat itu apalagi melihat reaksi Bunda pertama kali saat aku mengutarakan
niatku.
“Bunda sudah cerita semuanya dan Bunda percaya sama Saras”,
Bunda mencengkram kedua tanganku kuat.Ada energi yang tak terlihat mengalir
deras di sana.
Drrtt..drrt..drtt..
“Kamu di Ar-Rahman? Kenapa kamu tidak cerita semuanya sama
Mama? Kamu beneran mau mengadopsi Fatih?Mama kesana sekarang juga!”, satu pesan
singkat dari Mama tiba-tiba memecah haru biru ku dengan Bunda.Lima panggilan
tak terjawab. Segera aku pamit keluar mencoba menghubungi Mama. Aku harus
menghentikan langkah kaki Mama kesini. Terakhir kedatangan Mama kesini membuat
Fatih tak mau menemiku seminggu lebih lamanya. Sialnya aku tak bisa menghubungi
balik dan aku harus menyembunyikan Fatih kemanapun itu sebelum Mama menemui
kami. Aku kembali ke dalam mendapati dua raut wajah bingung.
“Bunda…”, aku berujar lirih. Bunda menangkap kecemasanku karena
ia adalah wanita selain Mama yang sekarang sangat dekat denganku.
“Mama…kenapa masih
belum mau membawa ku pulang kerumah? Aku sudah berkelakuan baik semenjak masuk
sekolah bahkan aku sudah mendapatkan juara dua untuk semester ini. Aku janji
lomba melukis nanti aku yang akan jadi pertama. Mama pasti lebih suka piala yang lebih tinggi bukan…”
“Fatih ingin sekali tinggal bersama kamu dan Bunda sudah
cerita semuanya. Dia senang bukan main”, Bunda menghampiriku yang masih
mematung.
“Bunda akan bantu kamu untuk menjelaskan kembali semua ini
ke Mama mu nanti”, tangisku pecah. Bagaimana tidak selain Mama alasan kenapa
beratnya aku membawa Fatih bersamaku adalah Bunda yang dulu pernah menerima
ketajaman mulut Mama dan semenjak itu ia hanya diam saat aku meminta restunya
untuk menjadikan Fatih sebagai anakku.
“Ayo..kemaskan barang-barangmu sekarang karena kita akan
pulang ke rumah hari ini juga..”, antara percaya dan tidak percaya aku sudah
mengucapkannya. Kalian tentu tahu bahwa memori anak kecil lebih kuat dan lebih
bersih dari pada kita. Tak mungkin aku mencabut kata-kata itu lagi atau bahkan
dengan kejam nya mengatakan aku salah bicara. Tidak. Tidak akan. Pelukan
spontan tanda kegirangan begitu erat
mencengkram. Pelukan itu semakin
menguatkan tekadku yang tanpa persiapan sekalipun. Aku adalah orang yang
memegang prinsip bagaimana nanti nya saja. Tapi kali ini..ah entahlah…mungkin
benar kita lihat nantinya saja seperti apa.
“ Mama…terima kasih…aku sayang
mama..sangat..sangat..sayang…”, baiklah jebol sudah pertahananku sekarang.
Buliran air yang sudah bertengger dipelupuk mata jatuh satu persatu hingga
begitu deras membanjiri pipiku bahkan hampir membasahi pundak si bocah yang
masih erat memelukku seolah takut kehilangan. Pekerjan paling berat saat ini
adalah menahan isak tangisku agar tidak terdengar jelas.
Ya Tuhan..bagaimana mungkin aku setega ini kepadanya. Aku
seorang ibu dan tidak seharusnya aku seperti
ini. Persetan dengan omongan orang nanti. Aku sudah membuka pintu yang
selama ini tertutup rapat dan kakipun sudah terlanjur melangkah keluar meski
baru selangkah. Oke aku kuat, aku bisa, aku pasti mampu. Teringat akan kata Bunda saat pertama kali bertemu, rahim itu
sungguh maha luas maknanya. Bagi kami tidak hanya berisikan plasenta tempat janin bercokol.Lebih dari itu, dari rahimlah terlahir malaikat-malaikat kecil untuk siapapun itu dan di sudut bumi manapun. Ya..dari rahim yang kutafsirkan sebagai rasa sayang aku mendapatkan Fatihku.